Senin, 31 Januari 2011

 Tapi, apakah itu dosa ?

pernah jadi bahagian hidupmu adalah anugrah......., sempurna !
mengingat masa2 kebersamaan kita sungguh indah........, aku terharu !
kalau harapan kita tak terwujud itulah takdir.........., aku dan kau yakin itu !
walau kau tetap ada di satu ruang di hatiku........, aku ihklas !
bila terkenang akan dikau....... kini aku bisa tersenyum !
tiada kepedihan, tiada air mata......
waktu telah membuat aku dewasa,
kuharap kau juga !
rindu ?
tentu !
tapi apakah itu dosa ?

Rabu, 19 Januari 2011

TENTANG IMAM GHAZALI DAN PENDAPAT BELIAU MENGENAI HUBUNGAN ULAMA & PENGUASA & NASEHAT

oleh Uni Marni Malay pada 19 Januari 2011 jam 1:53
Sejarah Hidup Imam Al Ghazali (1)
Kategori Biografi | 10-05-2008 | 64 Komentar

Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan 194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
-bersambung insya Allah-
***
Sumber: Majalah As Sunnah
Penyusun: Ust. Kholid Syamhudi, Lc.

ULAMA DAN PENGUASA
Hujjatul-Islam Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin membagi ulama dalam dua kelompok


Hatim al-Asham bukan nama asing dalam khazanah tasawuf. Konon, gelar al-Asham (orang tuli) yang disandangnya melekat akibat peristiwa dalam salahsatu majelisnya, dimana seorang wanita -maaf- buang angin di depannya tanpa sengaja. Hatim yang bijak berpura-pura tidak mendengar dan melanjutkan ceramahnya. Hatim adalah ulama yang amat disegani. Wibawanya memancar karena kezuhudan, ketekunan ibadah dan pembelaannya terhadap rakyat kecil.
Suatu ketika ia dikabari tentang adanya seorang ulama masyhur yang hidup bergelimang kemewahan. Sudah rahasia umum, kekayaan dan kemewahan ulama tersebut diperolehnya karena “pengabdiannya” pada raja. Sang ulama tidak pernah sekalipun mengingatkan rajanya, sekalipun sang raja telah nyata-nyata berlaku zalim dan menyalahi aturan-aturan Allah SWT. Hatim lalu merasa tergugah untuk meluruskannya.
Sesampainya di rumah megah sang ulama, ia bergumam, “Inikah sosok pewaris Nabi?” Lalu diketuknya pintu rumah dan meminta izin bertemu dengan sang ulama. Dilihatnya isi rumah dipenuhi dengan perabotan mahal dan sang ulama sendiri tengah berbaring di atas ranjang empuk, dikipasi bujang-bujangnya.
“Guru, ajarkan saya cara wudhunya Rasulullah“, pinta Hakim kemudian.
Di atas ranjang, sang ulama lalu mencontohkan cara berwudhu. Hatim menirunya dengan sedikit perbedaan. Sang ulama menegur, “Basuhlah sebanyak tiga kali, jangan lebih karena itu merupakan tabdzir (pemborosan)“.
Beroleh kesempatan, Hatim menukas lantang, “Guru, anda beroleh ilmu ini dari tabi’in, tabi’in dari sahabat, dan sahabat dari Rasulullah. Pernahkah beliau mengajarkan hidup boros dan mewah seperti ini? Jika Guru berkata kelebihan satu basuhan saja dianggap tabdzir, lalu bagaimana dengan semua kemewahan ini?“
Hujjatul-Islam Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin membagi ulama dalam dua kelompok: ulama al-akhirah (ulama baik) dan ulama al-suu’ (ulama busuk). Menurut beliau, salahsatu ciri yang membedakan keduanya adalah kedekatan dan pengabdian buta pada penguasa dan kekuasaan.
Nabi SAW bersabda, “Ulama adalah kepercayaan para Rasul selama tidak bercampur dengan penguasa dan larut dalam kehidupan duniawi. Jika mereka bercampur dengan penguasa dan larut dalam dunia, sungguh mereka telah mengkhianati para Rasul. Jauhi dan berhati-hatilah dengan mereka”.

sumber :Hatim al-Asham bukan nama asing dalam khazanah tasawuf. Konon, gelar al-Asham (orang tuli) yang disandangnya melekat akibat peristiwa dalam salahsatu majelisnya, dimana seorang wanita -maaf- buang angin di depannya tanpa sengaja. Hatim yang bijak berpura-pura tidak mendengar dan melanjutkan ceramahnya. Hatim adalah ulama yang amat disegani. Wibawanya memancar karena kezuhudan, ketekunan ibadah dan pembelaannya terhadap rakyat kecil.

Nasihat Imam Ghazali

"Ilmu itu cahaya", demikian petuah masyhur dari para Hukama' dan orang-orang saleh. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam kalbu.

Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah swt., para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi). Nabi juga bersabda: "Terdapat dua golongan dari umatku, apabila keduanya baik, maka manusia pun menjadi baik dan jika keduanya rusak maka rusaklah semuanya, yakni golongan penguasa dan ulama" (HR. Ibnu 'Abdil Barr dan Abu Naim dengan sanad yang lemah).

Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.

Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana solat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal)

Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akhirat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan bertanding dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah)

Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualiti hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah", demikian nasihat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: "Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akhirat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah". Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin)

Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integriti pendidikan dalam Islam yang berasas ta'dib. Ta'dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pada Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.

Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu perubatan, kejuruteraan, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integriti nilai-nilai ta'dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal:
(a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioriti terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa perubatan misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama.
(b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formaliti akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan.

Maraknya aksi corat-coret baju seragam, iring-iringan konvo dan beragam ekspresi negatif lainnya ketika merayakan kelulusan ujian, menjadi bukti bahwa kualitas pendidikan kita masih difokuskan untuk pemenuhan perut yang sarat dengan nilai-nilai hedonisme. Padahal Ali bin Abi Talib ra., telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab.


FB TAKAMBAMG JADIKAN GURU

oleh Uni Marni Malay pada 19 Januari 2011 jam 0:1

status demi satus, banyak skali status,
halaman demi halaman,
catatan demi catatan, banyak sekali catatan,
tautan berita , ku ulas,
berbagai karya,
ku tayangkan di wall

awalnya ntuk saling berbagi dan silaturahmi,
lama 2 aku seperti mengaduk warna
menganalisa komen demi komen, dari berbagai wajah,
seperti miesin otomatis,
nalarku bekerja
memberi nilai
peduli apa = , + OR _,
aku jadi bertanya sndiri,
adakah ini bermanfaat untuk ku ?

banyak dan berbagai nasehat dari sahabat di inboxku
isinya berupa peringatan,
akan tulisanku yg keras dan provokatif,
tentang resiko,
ada satu balasan yg agak aku sesali ;
' terima kasih KAWAN, resiko terburuk aku mati, dan itu hanya bisa terjadi atas izin Allah !'
Ya Allah, adakah ini bermanfaat untukku ?
untuk masa sesudah matiku ?
untuk masa kiniku ?

sehabis shalat isya tadi aku tercenung,
memikirkan sepak terjangku di dunia maya,
adakah bermanfaat ?
untukku, orang lain, bangsaku ?
Alhammdullilah,
seperti running teks di kepalaku,
" ah paling tidak aku belajar dari 4000 wajah , teman fbku !"
tentang warna2 mereka,
hitam, putih, abu2,  coklat ataukah oaange ???????
kawan ataukah lawan ?
amin !

Selasa, 11 Januari 2011

 

MUNGKINKAH BENCANA DEMI BENCANA DI TANAH AIR AKIBAT BANYAKNYA PEMIMPIN LALIM ATAU BANYAKNYA MASYARAKAT PENDOSA ?


ALQURAN SURAT 7 - AL-A'RAAF AYAT 4
Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, maka datanglah siksaan Kami (menimpa penduduk) nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari.
______________________________________
Ya Allah, ampuni kami, ampuni pemimpin kami, sadarkan mereka dari kesesatan dan kezaliman,
Ya Allah, inikah sekarang yg terjadi di negeri kami ? hampir semua tempat dan kota2 ditimpa bencana ?
-SUNAMI DI ACEH,
- JAKARTA TENGGELAM
- BANJIR JOKJAKARTA,
- LUMPUR LUPINDO,
-BANJIR IRIAN
- GEMPA PADANG
-SUNAMI MENTAWAI,
- GUNUNG BERAPI DI JAWA
-BANJIR MEDAN
Dan mungkinkah ini karena;
- Banyak sekali pemimpin yg jadi penjarah harta negara,
- banyaknya pemimpin pembohong,
- banyaknya orang yg menjadikan agama sekedar ritual saja,
- dekadensi moral di mana2 dianggap biasa2 saja,
- uzdat2, buya2, kiyai2 dan orang yg mengaku alim lainnya hanya si kafir yang bertopeng
Sungguh kami tak ingin menjadi orang yg berputus asa.
kami yakin dibalik itu ada rencanaMu, yang terbaik untuk bangsa kami,
Namun kami yakin, Engkau akan mengabulkan permohonan umatMu yang memohon;
Ya Allah, tolonglah kami ,
Amin !

Minggu, 02 Januari 2011

FILSAFAT HIDUP MEMPERMUDAH ORANG MINANG KABAU DALAM MEMBINA IMAN ISLAMI !


( 1 ). ALAM TAKAMBANG JADI GURU
Panakik pisau sirauik
ambiak galah batang lintabuang
silodang ambiak ka niru
nan satitiak jadikan lauik
nan sakapa jadikan gunuang
alam takambang jadi guru

"Alam Minangkabau", konon demikianlah orang Minang mnyebut tanah airnya, Alam bagi mereka adalah segala-galanya, bukan hanya sebagai tempat lahir dan mati, atau tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna fisiologi, seperti yang diungkapkan dalam pepatah di atas, maka tidak mengherankan kalau ajaran dan pandangan hidup orang Minang dinukilkan dalam pepatah, petitih, mamangan dan yang lainnya yang mengambil ungkapan dalam bentuk, sifat dan kehidupan alam, yang digambarkan dalam berbagai ungkapan, baik secara langsung  ataupun tidak langsung berupa kiasan atau sindirandan seperti  pepatah tersebut di atas yang merupakan pilsafat pokok atau dasar kehidupan orang Minangkabau.

Bahwa sesuai dengan sejarah, adat terlebih dulu masuk ke Ranah Minang, barulah kemudian datang Agama Islam, itulah sebabnya dalam Budaya Minangkabau berlaku ketentuan :

“ SYARAK MANDAKI, ADAT MANURUN, SYARAK MANGATO , ADAT MAMAKAI “

Artinya, seluruh ketentuan adat dapat dijalankan sepanjang sesuai dengan Ajaran Agama Islam,
Bahwa oleh karena Adat Minangkabau berpedoman kepada ketentuan alam, maka masuknya agama Islam di Minangkabau langsung diterima oleh masyarakat. umumnya, walaupun dalam sejarah pernah terjadi perang PADRI yang sesungguhnya itu tak lain dan tak bukan politik ' de vide et ampera yg di jalankan oleh penjajah belanda !
1
Bahwa pilsafat dasar Adat Minangkabau, "Alam Takambang Jadi Guru".jelas sesuai dengan firman Allah S.W.T yang terdapat dalam Al-Qur'anul Karim tentang mempelajari alam itu bagi orang-orang yang berfikir, antara lain dapat kita lihat dalam ;

1
Al-Quran Surat Yunnus Ayat 101.
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa'at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". 

Dalam ayat ini Allah menjelaskan perintah Nya kepada rasul Nya agar dia menyuruh kaumnya untuk memperhatikan dengan mata kepala mereka dan dengan akal budi mereka segala yang ada di langit dan di bumi. Mereka diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang penuh dengan bintang-bintang, matahari dan bulan, keindahan pergantian malam dan siang, air hujan yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati, menumbuhkan tanam-tanaman, dan pohon-pohonan dengan buah-buahan yang beraneka warna dan rasa. Hewan-hewan dengan bentuk dan warna yang bermacam-macam hidup diatas bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit kepada manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir, lembah yang terjal, dataran yang luas, samudera yang penuh dengan berbagai ikan yang semuanya itu terdapat tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah.

Indahnya filsafat hidup orang Minangkabau tersebut dalam membina Iman Islami masyarakatnya dapat kita lihat pada  pepatah di atas ;

" Nan satitiak jadikan lauik, nan sa kapa jadikan gunuang " ,  

artinya berapapun hasil yang diperoleh dalam suatu usaha dan atau dalam menerima pemberian orang lain, harus tetap diterima dan disyukuri dengan ihklas, 

sedangkan, 

" alam ta kambang jadi guru ", merupakan anjuran untuk slalu introspeksi diri, agar selalu belajar dari tanda-tanda alam dan kejadiannya, bahwa hasil usaha atau pemberian orang sedikit atau banyak tentu ada sabab musababnya, ( Setelah masuk Islam barulah diketahui bahwa manusia hanya berusaha Allah yang menentukan, Subhanallah ! ). 

Sungguh, penulis yakin, keindahan filsafat tersebut hanya akan dapat dirasakan oleh orang-orang yang berfikir dan yakin kepada Allah !.

Sabtu, 01 Januari 2011

DEMI MASA

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
(Q.S Al-'Ashr : 1-3)

Okelah yang lalu biar lah berlalu, kita masih punya kesempatam sesaat sebelum ajal menjemput, apakah kita akan tergolong orang2 yg merugi atau orang2 yg beruntung, itu tergantung kepada kita sendiri, tekat dan kemauan kita !
Ya , dengan menggambarkan pedihnya azab neraka, dan indahnya sorga, Allah telah memberi pilihan kepada kita, lengkap dengan aturan main yang haruis kita lakukan.
Memang, ini tidak lah gampang, perlu perjuangan keras, terutama sekali dalam menghadapi musuh yang datang dari dalam diri kita , maupun dari luar diri kita.
musuh dari dalam diri kita adalah nafsu  kita yang susah kita kendalikan, pertarungan antara sifat baik dan buruk dalam diri kita yang sering2 dimenangkan oleh sifat jahat, akibat kita tidak berhasil mengendalikan nafsu kita.
Musuh dari luar diri kita baik berupa godaan kemegahan dunia, maupun godaan dari manusia lain maupun iblis.
So what ?
mari kita bilang pada diri kita, bahwa ; I must be a winner !
Selanjutnya lakukan apa yang perlu dilakukan, lihat aturan mainnya dalam Alquran dan Hadist !
TERASA BERAT MELAKSANAKANNYA ? MEMANG, KARENA SLAMA INI KITA TIDAK BERHASIL MENUNDUKAN NAFSU JAHAT KITA !
MAKANYA SEKARANG, LAKUKAN HAL YG POKOK DAN PRINSIP DULU ; TUNDUKAN NAFSUMU !
OK, SLAMAT MENCOBA
SMOGA DI 2011 KITA SUKSES !

Label

Translate

aku dan sabrina, my classmate

aku dan sabrina, my classmate