Kedudukan Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam
(Bagian 3)
Dominasi Laki-laki Terhadap Perempuan.
Kendati
patriarkhi memberikan kontribusi besar bagi pelanggengan dominasi
laki-laki atas perempuan, sebenarnya sistem ini juga membatasi ruang
gerak laki-laki, yang “dipaksa” selalu harus tampil rasional, maskulin
dan petualang publik. Namun demikian, dibanding “penderitaan” laki-laki
yang diakibatkan oleh ideologi ini, keuntungan yang dirasakan laki-laki
lebih besar. Pada saat yang sama, ideologi ini sama sekali tidak
memberikan keuntungan bagi perempuan. Sebaliknya, ia diciptakan untuk
melakukan kontrol sosial terhadap perempuan, baik kontrol terhadap tubuh
maupun peran sosial perempuan. Warisan keagamaan kuno hingga modern,
tampaknya juga memberikan kotribusi besar bagi pengontrolan tubuh dan
sosial perempuan tersebut. Sistem
teologi agama kuno yang menggambarkan sosok tuhan-tuhan yang banyak,
kemudian diseleksi pada gambaran-gambaran tuhan yang berpengaruh, hingga
kepercayaan monotheisme, memberikan gambaran Tuhan sebagai sosok bapak
yang perkasa, sebagaimana dalam sistem teologi Kristiani misalnya,
merupakan proses sekunderisasi perempuan. Secara historis, munculnya
ideologi patriarkhi berasal dari mesopotamia Kuno pada zaman neolitikum,
seoring dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para
femnis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesunguhnya terjadi
jauh sebelum era neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota
tersebut.
Antara
tahun 3500-3000 SM, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota.
Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap
hegemoni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan
adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi
yang memastikan penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan
pengontrolan seksualitas perepmuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian
terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan
dari institusi politik maupun negara. Dalam konteks di atas, seksualitas
perempuan menjadi aset dan kekayaan laki-laki, pertama milik ayah dan
kedua milik suami. Kesucian seksualitas perempuan memperoleh nilai
ekonomi, yang bisa dijadikan modal tawar menawar. Uang
jemputan dalam kasus peminangan perempuan Makassar atau perempuan Aceh,
merupakan contoh konkritnya, di mana harga perawan ditentukan oleh
status sosial ayah-nya. Kemunculan negara-negara kota pada zaman
Mesopotamia Kuno, menyebabkan ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja.
Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan perempuan dalam “petualangan”
publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan demikian,
pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi
kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat
sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan. Kondisi
pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat
Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturam negara, berupa Undang-undang
Hamurabi (1750 SM), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk.
Kendati
dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan
sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki
yang menceraikan isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi.
Aturan ini berbeda dengan Undang-undang Assyiria (1200 SM), yang
membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan kepada
suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai.
Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan
isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau, jika
ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi
dengan tangan kosong. Dalam
konteks Mesopotamia kuno, sumber kekuatan dan kekuasaan berada di
tangan ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus patuh kepada
kekuasaan mutlak mereka. Dalam Undang-undang Hamurabi dinyatakan bahwa
kepala keluarga berhak mengatur perkawinan ank-anaknya. Ia bisa mengirim
anak-anak perempuannya ke candi untuk menjadi biarawati. Ia bisa
menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar hutang-hutangnya.
Penggunaan
cadar bagi perempuan terutama di kawasan jazirah Arab, terpengaruh oleh
Undang-undang Asyiria. Dalam undang-undang tersebut, dibedakan secara
jelas perempuan yang berhak dan tidak berhak menggunakan cadar. Cadar
merupakan simbol bagi kesucian dan keperawanan perempuan. Simbol ini
juga menjadi pertanda adanya perempuan yang berada di bawah perlindungan
laki-laki, dan perempuan “bebas” yang bisa menjadi “mangsa” seksual
bagi siapapun. Dalam konteks masyarakat arab, budaya ini digunakan untuk membedakan antara hurrah dan ‘amat.
Hurrah adalah para perempuan terhormat yang hidupnya di bawah perlindungan laki-laki terhormat. Sedangkan ‘amat merupakan
perempuan-perempuan pekerja seksual, yang tidak memiliki pelindung
seorang laki-laki. Perintah berjilbab bagi para perempuan, juga terkait
dengan budaya masyarakat Arab yang sebelumnya tidak ada perbedaan antara
hurrah dan amat tersebut.
Tidak
berbeda dengan Hamurabi, Assyiria juga menyatakan bahwa bila seorang
suami memperkosa perempuan lain, maka perbuatan itu akan mengotori
istrinya. Karena itu ia harus mnceraikan istrinya.jika terjadi
pemerkosaan atas gadis oleh laki-laki lajang, maka laki-laki tersebut
harus membayar harga gadis tersebut kepada ayahnya dan mengawininya. Dengan demikian, perempuan sama sekali tidak memiliki otonomi dan independensi atas dirinya. Menurut
Lerner, sebagaimana dikutip Fatmagul Bertaky, menyatakan bahwa dengan
demikian, cadar tidak saja merupakan simbol kelas atas, tetapi lebih
penting lagi, ia merupakan simbol yang membantu membedakan antara
perempuan yang bisa dinikmati oleh banyak laki-laki, dengan perempuan
yang hanya bisa dinikmati oleh satu laki-laki dan hidup berada di bawah
perlindungannya.
Dengan
demikian, pemakaian cadar dan kerudung atau penutup kepala,
sesungguhnya tidak saja merupakan tradisi Islam, tetapi telah ada jauh
sebelum Islam datang. Dalam tardisi Kristen, pemakaian kerudung atau
penuup kepala telah dlakukan oleh St. Paul untuk membangun satu bagian
pelembagaan Kristen. Dalam agama Yahudi, Yunani dan Byzantium yang
berada dalam peradaban Laut Tengah bagian Timur, cadar melibatkan arti
sosial yang semakin kompleks. Namun demikian, dalam tardisi agama-agama
dunia, tradisi cadar atau kerudung dan penutup kepala, lebih terasa khas
dalam trdisi Islam dibanding dalam tradisi agama-agama selainnya.
Pada
abad pertama Masehi, satu-satunya wilayah efektif bagi perempuan Yahudi
adalah pada lingkungan keluarga. Pembatasan peran perempuan
diasosiasikan dengan tradisi perkawinan di era itu. Kekuasaan seorang
ayah atas anak perempuan mereka dan kekuasaan suami atas siterinya,
demikian luar biasa. Semua hukum tentang perkawinan, kewarisan dan perceraian, kemudian dikonstruksi dengan berpihak kepada kaum laki-laki. Sedikit sekali peraturan hukum yang menetralkan atau mengimbangi kontrol dan kekuasaan ayah dan suami.