Kamis, 11 Juli 2013

Kedudukan Perempuan dan Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam

(Bagian 3)
1373519732244565143
Dominasi Laki-laki Terhadap Perempuan.
Kendati patriarkhi memberikan kontribusi besar bagi pelanggengan dominasi laki-laki atas perempuan, sebenarnya sistem ini juga membatasi ruang gerak laki-laki, yang “dipaksa” selalu harus tampil rasional, maskulin dan petualang publik. Namun demikian, dibanding “penderitaan” laki-laki yang diakibatkan oleh ideologi ini, keuntungan yang dirasakan laki-laki lebih besar. Pada saat yang sama, ideologi ini sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi perempuan. Sebaliknya, ia diciptakan untuk melakukan kontrol sosial terhadap perempuan, baik kontrol terhadap tubuh maupun peran sosial perempuan. Warisan keagamaan kuno hingga modern, tampaknya juga memberikan kotribusi besar bagi pengontrolan tubuh dan sosial perempuan tersebut. Sistem teologi agama kuno yang menggambarkan sosok tuhan-tuhan yang banyak, kemudian diseleksi pada gambaran-gambaran tuhan yang berpengaruh, hingga kepercayaan monotheisme, memberikan gambaran Tuhan sebagai sosok bapak yang perkasa, sebagaimana dalam sistem teologi Kristiani misalnya, merupakan proses sekunderisasi perempuan. Secara historis, munculnya ideologi patriarkhi berasal dari mesopotamia Kuno pada zaman neolitikum, seoring dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para femnis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesunguhnya terjadi jauh sebelum era neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut.
Antara tahun 3500-3000 SM, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perepmuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan dari institusi politik maupun negara. Dalam konteks di atas, seksualitas perempuan menjadi aset dan kekayaan laki-laki, pertama milik ayah dan kedua milik suami. Kesucian seksualitas perempuan memperoleh nilai ekonomi, yang bisa dijadikan modal tawar menawar. Uang jemputan dalam kasus peminangan perempuan Makassar atau perempuan Aceh, merupakan contoh konkritnya, di mana harga perawan ditentukan oleh status sosial ayah-nya. Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan. Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturam negara, berupa Undang-undang Hamurabi (1750 SM), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk.
Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang Assyiria (1200 SM), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi dengan tangan kosong. Dalam konteks Mesopotamia kuno, sumber kekuatan dan kekuasaan berada di tangan ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus patuh kepada kekuasaan mutlak mereka. Dalam Undang-undang Hamurabi dinyatakan bahwa kepala keluarga berhak mengatur perkawinan ank-anaknya. Ia bisa mengirim anak-anak perempuannya ke candi untuk menjadi biarawati. Ia bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar hutang-hutangnya.
Penggunaan cadar bagi perempuan terutama di kawasan jazirah Arab, terpengaruh oleh Undang-undang Asyiria. Dalam undang-undang tersebut, dibedakan secara jelas perempuan yang berhak dan tidak berhak menggunakan cadar. Cadar merupakan simbol bagi kesucian dan keperawanan perempuan. Simbol ini juga menjadi pertanda adanya perempuan yang berada di bawah perlindungan laki-laki, dan perempuan “bebas” yang bisa menjadi “mangsa” seksual bagi siapapun. Dalam konteks masyarakat arab, budaya ini digunakan untuk membedakan antara hurrah dan ‘amat.
Hurrah adalah para perempuan terhormat yang hidupnya di bawah perlindungan laki-laki terhormat. Sedangkan ‘amat merupakan perempuan-perempuan pekerja seksual, yang tidak memiliki pelindung seorang laki-laki. Perintah berjilbab bagi para perempuan, juga terkait dengan budaya masyarakat Arab yang sebelumnya tidak ada perbedaan antara hurrah dan amat tersebut.
Tidak berbeda dengan Hamurabi, Assyiria juga menyatakan bahwa bila seorang suami memperkosa perempuan lain, maka perbuatan itu akan mengotori istrinya. Karena itu ia harus mnceraikan istrinya.jika terjadi pemerkosaan atas gadis oleh laki-laki lajang, maka laki-laki tersebut harus membayar harga gadis tersebut kepada ayahnya dan mengawininya. Dengan demikian, perempuan sama sekali tidak memiliki otonomi dan independensi atas dirinya. Menurut Lerner, sebagaimana dikutip Fatmagul Bertaky, menyatakan bahwa dengan demikian, cadar tidak saja merupakan simbol kelas atas, tetapi lebih penting lagi, ia merupakan simbol yang membantu membedakan antara perempuan yang bisa dinikmati oleh banyak laki-laki, dengan perempuan yang hanya bisa dinikmati oleh satu laki-laki dan hidup berada di bawah perlindungannya.
Dengan demikian, pemakaian cadar dan kerudung atau penutup kepala, sesungguhnya tidak saja merupakan tradisi Islam, tetapi telah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam tardisi Kristen, pemakaian kerudung atau penuup kepala telah dlakukan oleh St. Paul untuk membangun satu bagian pelembagaan Kristen. Dalam agama Yahudi, Yunani dan Byzantium yang berada dalam peradaban Laut Tengah bagian Timur, cadar melibatkan arti sosial yang semakin kompleks. Namun demikian, dalam tardisi agama-agama dunia, tradisi cadar atau kerudung dan penutup kepala, lebih terasa khas dalam trdisi Islam dibanding dalam tradisi agama-agama selainnya.
Pada abad pertama Masehi, satu-satunya wilayah efektif bagi perempuan Yahudi adalah pada lingkungan keluarga. Pembatasan peran perempuan diasosiasikan dengan tradisi perkawinan di era itu. Kekuasaan seorang ayah atas anak perempuan mereka dan kekuasaan suami atas siterinya, demikian luar biasa. Semua hukum tentang perkawinan, kewarisan dan perceraian, kemudian dikonstruksi dengan berpihak kepada kaum laki-laki. Sedikit sekali peraturan hukum yang menetralkan atau mengimbangi kontrol dan kekuasaan ayah dan suami.

Fatmagul Berktay,” Ciri Khusus Patrarkhi: Kontrol Sosial terhadap Tubuh Perempuan”, dalam Suralaga&Rosatria (ed.), Perempuan: dari Mitos, 1-39.
Ibid.

Label

Translate

aku dan sabrina, my classmate

aku dan sabrina, my classmate