Rabu, 29 April 2015

KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM


= Makalah =



KEDUDUKAN PEREMPUAN  DAN KESETARAAN GENDER
DALAM PANDANGAN ISLAM


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HAM Dan Demokrasi Dalam Islam Pada Semester III Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Bidang Study Hukum Islam di Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta.





Disusun Oleh                         : MARNI MALAY, SH.
Dosen Pembimbing              : DR. ILYAS ISMAIL, MA.




Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
INDONESIA
2013
ABSTRAK

Perempuan, adalah makhluk paling ajaib yang diciptakan Allah dari tulang rusuk pria, namun  merupakan ujian terbesar bagi kaum pria. Daya dan gaya tarik apapun tak ada yang mampu menandingi daya dan gaya tarik perempuan, karenanya ia bisa menjadi nikmat yang mampu mengantar pria pada surga dunia dan surga akhirat, sekaligus  bisa menjadi bala yang menjerumuskan pria ke neraka dunia dan neraka akhirat, sebab jika sudah berurusan dengan perempuan, apapun bisa dilakukan pria, bahkan berkorban nyawa sekalipun.

Perempuan, demikian hebatnya daya tarik yang dimiliki olehnya, dapat kita lihat bagaimana Allah menggambarkan bidadari-bidadari sorga  merupakan perempuan-perempuan cantik dan suci sebagai hadiah dan atau balasan terhadap pahala hamba-hambanya yang Taqwa.  

Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena konon kata orang bijak,  kebaikan perempuan bisa menegakkan negara, namun keburukannya dapat menghancurkan negara.   
Perempuan, sering mengalami perlakuan buruk dalam masyarakat, terutama sekali dalam persamaan hak dan atau kesetaraan gender, perempuan sering diperlakukan sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan social masyarakat maupun dalam lapangan pekerjaan.
Perempuan, muslimah menurut Ajaran Islam memiliki kedudukan terhormat, karena prinsip pokok dalam Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digaris bawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perempuan, seyogianya memiliki kedudukan khusus dan mulya dalam tatanan masyarakat Islam, oleh karena Islam memandang wanita lewat kesadaran terhadap tabi’atnya hakekat risalahnya serta pemahaman terhadap konsekwensi logis dari sepesial kodrat yg dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya.
Kaum Perempuan, adalah ibu dari seluruh umat manusia yang dilahirkan, karenanya patut menempati tingkat kemuliaan yang tertinggi dari anak-anak yang mereka lahirkan.
ABSTRACT

Women, is the most magical creatures created from the rib of the man of God, but it is the biggest test for men. Power and any tensile force no one can match the power and style of female attractiveness, so he could be able to drive him favor in paradise and heaven hereafter, and as an army man who plunged the world into hell and hell afterlife, because if it had been dealt with women, he could do anything, even sacrifice life though.
Women, as held great appeal to them, we can see how God describes angels of heaven are beautiful women and the sacred as a gift and or replies to reward his servants who Taqwa.

Women, often called the backbone of the country, because supposedly the word of the wise, the good woman could enforce the state, but the ugliness could destroy the country.
Women, often experience poor treatment in the community, particularly in the equation or the rights and gender equality, women are often treated as second-class citizens in both the public and social life in employment.
Women, Muslim according to Islamic teachings as an honor, because the basic principles of Islam is equality between men, between men and women or between nations, tribes and descendants. Differences are highlighted and then raise or lower the value of a person's devotion and piety is God Almighty.
Women, should have a special status in society and mulya Islam, because Islam considers tabi'atnya women through awareness and understanding of the nature of his treatise logical consequence of sepesial nature that Allah Almighty bestowed them.
Women, is the mother of all human beings are born, therefore should occupy the highest levels of the glory of the children they gave birth.




KATA PENGANTAR


https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTkk20ovLYa-Xn17kGMf2fvleXuhYgz23ckBLif7p3c_9fIJr4LLg


Alhamdullilah,
Makalah yang berjudul, “KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM, ini dapat penulis selesaikan untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah HAM Dan Demokrasi Dalam Islam, Pada Semester III Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Bidang Study Hukum Islam di Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta.
Terima kasih penulis aturkan kepada Bapak Dr. Ilyas Ismail, MA. Dosen Mata Kuliah HAM Dan Demokrasi Dalam Islam, atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama penulis menyusun makalah ini.
Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan penulisan makalah ini dengan sebaik baiknya sesuai dengan kemampuan dan ilmu yang penulis miliki, namun penulis menyadari, “ Tak ada gading yang tak retak” , oleh karena itu Penulis mengharapkan dan   akan sangat berterima kasih terhadap pembaca yang berkenan memberikan saran dan kritik  untuk kesempurnaan makalah ini. 

Jakarta, 1 April 2013

Wassalam,
Penulis.



MARNI MALAY, SH.


DAFTAR ISI
                 Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….……….         1      
ABSTRAK ………….……………………………………………………………..            ...         2
ABSTRACT ………………………… ..………………………...……………...…..          3
KATA PENGANTAR ……………………………...……………...………..……..          4
DAFTAR ISI ……………………….……….……………………….……...............          5

BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ……..……….………….……..…..……….…………………          6
B.     Perumusan Masalah …………….....…………………..……….….…….……         9
C.    Tujuan Dan Kegunaan Penulisan ……………………………………….……          9
D.    Metode Penulisan ….…………………………………….….….….................                     9

BAB II. PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER  
A.    Dinamika Kehidupan Dan Asal Kejadian Perempuan ……………………….          10
B.     Perempuan Dan Kesetaraan Gender ………………………………………….         14
C.    Dominasi Laki – Laki Terhadap Perempuan ….………………………………         23
D.    Perempuan Arab Pada Masa Jahiliyah ………………………………………..         2 7

BAB III. KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM
                PANDANGAN ISLAM
A.    Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan Islam …………………..………..         29
B.     Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam ……………………….………..         30
C.     Ibu Dalam Pandangan Islam …………………………………….……………         35
D.    Istri Dalam Pandangan Islam …………………………………….…………...         39
E.     Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam ………….………………………         43
F.      Muslimah Dalam Kehidupan Sosial ………………………………………….          50

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN – SARAN
A.    Kesimpulan ……………………………………………………………………        51
B.     Saran –Saran …………………………………………………………………..        51

DAFTAR PUSTAKA ……….………………………………………………………        52
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Perempuan, adalah makhluk paling ajaib yang diciptakan Allah dari tulang rusuk pria, namun  merupakan ujian terbesar bagi kaum pria. Daya dan gaya tarik apapun tak ada yang mampu menandingi daya dan gaya tarik perempuan, karenanya ia bisa menjadi nikmat yang mampu mengantar pria pada surga dunia dan surga akhirat, sekaligus  bisa menjadi bala yang menjerumuskan pria ke neraka dunia dan neraka akhirat, sebab jika sudah berurusan dengan perempuan, apapun bisa dilakukan pria, bahkan berkorban nyawa sekalipun. Demikian hebatnya daya tarik yang dimiliki olehnya, dapat kita lihat bagaimana Allah menggambarkan bidadari-bidadari sorga  merupakan perempuan-perempuan cantik dan suci sebagai hadiah dan atau balasan terhadap pahala hamba-hambanya yang Taqwa.  Bahkan Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena konon kata orang bijak,  kebaikan perempuan bisa menegakkan negara, namun keburukannya dapat menghancurkan negara.   

Di sisi lain, perempuan adalah makhluk yang sangat lembut, karenanya dianggap lemah dan tidak berdaya, sehingga berabat –abat lamanya, sejak adanya peradaban manusia di muka bumi, kaum perempuan selalu menjadi objek dominasi dan penindasan kaum laki-laki dan tidak memiliki hak apapun dalam pranata sosial dan masyarakat, sehingga harkat dan martabat kaum perempuan berada pada tingkat yang paling rendah, bahkan dewasa, diabat modern sekarang ini ditengah bergaungnya teriakan persamaan hak laki-laki dan perempuan atau yang lebih terkenal dengan istilah,”kesetaraan gender”,  dan “Hak Azazi Manusia (HAM)“, masih sering terjadi perlakuan laki-laki yang berbuat tidak semestinya terhadap perempuan, perempuan sering mengalami perlakuan buruk dalam masyarakat, sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan sosial masyarakat maupun dalam lapangan pekerjaan.

Namun pemikiran-pemikiran seperti itu lambat laun kian memudar seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, meskipun demikian penghargaan terhadap perempuan belum pada proporsi yang sepatutnya, masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan selalu jadi polemik yang tidak habis-habisnya,  sehingga pada tahum 1960-an lahir suatu gerakan perempuan di dunia Barat yang menamai “Gerakan Feminisme”, suatu gerakan yang menuntut hak akan keberadaan perempuan yang selama selalu dibelakang kaum laki-laki untuk menjadi sama bahkan lebih kedudukannya dibandingkan laki-laki, suatu gerakan perempuan dalam pembebasan dari belenggu penindasan yang sebenarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu.

Akan tetapi gerakan pembabasan yang terjadi di Barat ternyata tidak sesuai dengan syariat Islam, sehingga lahirlah feminisme Islam sebagai bentuk ketidak puasan atas gerakan feminisme Barat. 

Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran laki-laki dan perempuan, faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk pandangan yang merendahkan perempuan.

Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.

Kedua teori ini senantiasa berjalan secara berlawanan, tidak didefinisikan secara alamiah dan setara, laki dan perempuan, kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial, bahwa kodrat laki-laki dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebaliknya, kodrat perempuan lemah, emosional dan seterusnya.

Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan kodrati atau konstruksi, mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial-kultural, karena berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dan tidak pantas untuk dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.

Menurut Ajaran Islam, Perempuan, memiliki kedudukan terhormat, karena prinsip pokok dalam Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan atau merendahkan manusia dalam artian perempuan dan laki-laki memiliki dan yang membedakan keduanya hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah, sebagaimana firman-Nya ;   

“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa (QS 49: 13).”
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ;
orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang batten berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?”
Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari-Muslim)

Di Indonesia kedangkalan pemahaman terhadap ajaran Islam telah menimbulkan kekeliruan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain ; Undang Undang Perkawinan Indonesia (UU Nomor 1 Than 1974) mengenai ketentuan harta bersama dalam perkawinan, yang sangat merugikan kaum perempuan.

Bertolak dari latar belakang di atas, penulis akan memaparkan mengenai kedudukan perempuan (kesetaraan gender) dalam Islam dengan membandingkannya dengan perkembangan kesetaraan gender dalam peradaban manusia.

B.     Perumusan Masalah
Permasalahan yang hendak dingkat dalam makalah ini adalah :
Bagaimana kedudukan perempuan (KESETARAAN GENDER) dalam Islam dan implementasi serta perkembangannya dalam pembentukan hukum di Indonesia 

C.    Tujuan Dan Kegunaan Penulisan.
1.      Tujuan Penulisan :
a.      Mengetahui tentang kedudukan perempuan dalam Islam dan implementasinya dalam pembentukan hukum di Indonesia umumnya dan korelasinya terhadap perkembangan Islam di Indonesia khususnya mengenai kesetaraan gender bagi kemaslahatan pemeluknya dunia dan akherat.  
b.      Sebagai langkah awal bagi penulis untuk penyusunan Thesis nantinya dalam menyelesaikan study di Pasca Sarjana Magister Hukum.
2.      Kegunaan Penulisan :
a.      Kegunaan Praktis ; Penulis berharap keseluruhan data dan informasi yang disajikan dalam dalam makalah ini dapat  memberikan masukan bagi para penyelenggara Negara dalam pembentukan dan pembangunan  hukum Islam kotenporer Indonesia.
b.      Kegunaan Teoritis ; Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan, peningkatan dan pengembangan serta pembaharuan hukum Islam, sehingga dapat diimplementasikan dalam penanganan masalah Hukum Nasional terhadap masyarakat Islam, khususnya mengenai kedudukan perempuan yang sesuai dengan ajaran Islam. 

D.    Metode Penulisan.
Penulisan makalah ini bersifat studi kepustakaan (library research), di mana data yang diperoleh berdasarkan pustaka melalui Al-Quran dan Hadist, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan laporan, makalah dan atau artikel-artikel yang berhubungan dengan kedudukan perempuan dalam Islam dan perannya dalam pembentukan hukum Indonesia kontenporer yang didapat melalui internet.
BAB II
PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER

A.    Dinamika Kehidupan Dan Asal Kejadian Perempuan

Perempuan adalah makhluk paling ajaib yang diciptakan Allah, namun  merupakan ujian terbesar bagi kaum pria. Daya dan gaya tarik apapun tak ada yang mampu menandingi daya dan gaya tarik perempuan, karenanya ia bisa menjadi nikmat yang mampu mengantar pria pada surga dunia dan surga akhirat, sekaligus  bisa menjadi bala yang menjerumuskan pria ke neraka dunia dan neraka akhirat, sebab jika sudah berurusan dengan perempuan, apapun bisa dilakukan pria, bahkan berkorban nyawa sekalipun. Demikian hebatnya daya tarik yang dimiliki olehnya, dapat kita lihat bagaimana Allah menggambarkan bidadari-bidadari sorga  merupakan perempuan-perempuan cantik dan suci sebagai hadiah dan atau balasan terhadap pahala hamba-hambanya yang Taqwa. 
Bahkan Perempuan, sering disebut tulang punggung Negara, karena konon kata orang bijak,  kebaikan perempuan bisa menegakkan negara, namun keburukannya dapat menghancurkan negara.   Artinya, kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya, tapi melihat hal dan kewajiban maksimal yang bisa dilakukan dan didapatkan serta sesuai dengan konteks keperempuanan. Perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak diciptakan sebagai pelengkap tanpa maksud. Tetapi betapa perempuan membuat dunia ini menjadi lebih manusiawi dan berwarna. Perempuan bahkan menjadi simpul majunya suatu peradaban, yang ditangannya lah arah dan gerak bangsa ditentukan. 

Namun demikian sejak zaman dahulu sampai sekarang penghargaan terhadap perempuan belum pada proporsi yang sepatutnya, masalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang dewasa ini lazim disebut dengan, “kesetaraan gender”, selalu jadi polemik yang tidak habis-habisnya, disebabkan karena perempuan sering mengalami perlakuan buruk dalam masyarakat, perempuan sering diperlakukan sebagai warga kelas dua baik dalam kehidupan social masyarakat maupun dalam lapangan pekerjaan.

Banyak faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran laki-laki dan perempuan, faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk pandangan yang merendahkan perempuan.

Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga? Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan masyarakat abad ke-20 ini.

Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan lelaki dan perempuan yang banyak.

Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.

Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).

Benar ada hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.

Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21) dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."

Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Memahami hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir. Dalam Surah Al-Isra' ayat 70 ditegaskan :

Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan.

Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah Ali'Imran yang menyatakan:
Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain, dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni perempuan) demikian juga halnya."

Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari
segi asal kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan konsideran ini, Tuhan mempertegas :
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS 3:195).

Pandangan masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran seorang anak lelaki tetapi bersedih  memperoleh anak perempuan.

Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan "buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka tetapkan itu (QS 16:58-59).

Ayat ini dan semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan. Dari ayat-ayat Al-Quran juga ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:

Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya ... (QS 7:20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... (QS 2:36).

Kalaupun ada yang berbentuk tunggal, maka justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), seperti dalam firman Allah :

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
Demikian terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadiannya.
Tanggal 8 Maret 2011, kembali kita memperingati Hari Perempuan Internasional, hari yang didedikasikan untuk perjuangan kaum hawa, hari yang diperingati khusus menandakan bukti bahwa wanita itu luar biasa, namun kenyataan perjuangan kesetaraan gender yang digaungkan tidak berakibat apa-apa bagi kebaikan manusia, Hari Perempuan Internasional tak lebih sekedar seremonial dan isapan jempol belaka, perempuan tetap sebagai pihak yang tidak dipandang sebelah mata. perempuan masih diangap dengan stereotipe yang lemah dan menjadi sosok pelengkap.

Ironisnya lagi tidak hanya kau pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak percaya diri, bergantung pada lawan jenisnya untuk mengetahui apa yang namanya kebahagiaan hidup dan kurang meyakini bahwa sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. Mereka termakan pola berpikir bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting.  Sosok perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan antara keluarga dan karier kerja menjadi sangat langka ditemukan.

Perempuan seringkali takut untuk berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang tidak bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya yang terlalu fokus untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan keluarganya. Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri yang terus meningkat semakin sulit untuk digapai. Selain tugasnya yang banyak dan tentunya tidak mudah. Perempuan pun terikat banyak aturan dan pembatasan. Misalnya saja, perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu, sehingga membuat perempuan semakin tua semakin tidak produktif.

Pandangan seperti ini harus dirubah, karena sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting, karena sedikit apapun kontribusi yang bisa kita lakukan untuk lingkungan adalah modal dan harta kita untuk mampu berbuat lebih banyak, bahwa seorang perempuan tidak hanya bertanggung jawab untuk keunggulan keluarganya, tetapi juga bagaimana menjadi ibu peradaban yang membangun generasi super dalam perannya sebagai seorang ibu yang melelahkan dan tak mengenal batas waktu serta mampu menyeimbangkan semuanya dan tetap mencapai target target diri merupakan nilai tambahan yang membuatnya lebih unggul dibanding kaum pria. Pun dengan segala aturan dan batasan yang dimiliki, semua norma dan nilai yang berlaku di masyarakat adalah panduan yang menjamin keselamatan dan kebaikan bagi kaum perempuan. [1]  

B.     Perempuan Dan Kesetaraan Gender

Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.

Konsep gender sendiri harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak  berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan.Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah lembut. Dan sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karena itu gender dapat berubah dari individu ke individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkandari kelas sosial yang satu ke kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak berubah. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat mendukung dan bahkan melarang keikut sertaan anak perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat ketidak samaan kesempatan, sehingga dalam masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.

Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yangdikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi diganti. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.

Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.

Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.

Teori nature (Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan) adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.[2]

Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.[3]

Menyimak pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang beradab. Dengan demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol manusia.Dalam konteks ini, menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam dari pada dengan kebudayaan, perempuan berada pada posisi margin dan periferi kebudayaan.

Memperkuat teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang menghunjam pada tataran kos`mologis. Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekelannya, sebaliknya perempuan yang direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya pada instabilitas dan mudah berubah. Philo secara lebih vulgar menyatakan ; dikhotomi laki-laki dan perempuan berikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam dan hukum dunia mengikuti perintah alam. Di samping filsafat tentang definisi nature-nya, Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan sebagai mitos atau sejarah, namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu pada realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan dan perempuan.

Senada dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil. Berdasarlan pemikiran itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Menurut Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan berhasil menggodanya, bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.[4]

Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial), Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara
jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.[5] Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu.
Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.

Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini.

Konsepsi ideologi patriarkhi yang sessunguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi --yang diwariskan oleh peradaban kuno-- dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut: Patriarkhi mengurung mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat. Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terlatak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuenasi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan. Untuk melanggengkan superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan seterusnya.

Berdasarkan kolaborasi dan “perselingkuhan” kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding perenpuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia. Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya.

Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma wanita,  demikian juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.

Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.[6]

Berdasarkan realitas pengkondisian sosial masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi tugas perempuan. Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen.

Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.[7]

Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.

Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.

C.    Dominasi Laki-laki Terhadap Perempuan.

Kendati patriarkhi memberikan kontribusi besar bagi pelanggengan dominasi laki-laki atas perempuan, sebenarnya sistem ini juga membatasi ruang gerak laki-laki, yang “dipaksa” selalu harus tampil rasional, maskulin dan petualang publik. Namun demikian, dibanding “penderitaan” laki-laki yang diakibatkan oleh ideologi ini, keuntungan yang dirasakan laki-laki lebih besar. Pada saat yang sama, ideologi ini sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi perempuan. Sebaliknya, ia diciptakan untuk melakukan kontrol sosial terhadap perempuan, baik kontrol terhadap tubuh maupun peran sosial perempuan. Warisan keagamaan kuno hingga modern, tampaknya juga memberikan kotribusi besar bagi pengontrolan tubuh dan sosial perempuan tersebut. Sistem teologi agama kuno yang menggambarkan sosok tuhan-tuhan yang banyak, kemudian diseleksi pada gambaran-gambaran tuhan yang berpengaruh, hingga kepercayaan monotheisme, memberikan gambaran Tuhan sebagai sosok bapak yang perkasa, sebagaimana dalam sistem teologi Kristiani misalnya, merupakan proses sekunderisasi perempuan. Secara historis, munculnya ideologi patriarkhi berasal dari mesopotamia Kuno pada zaman neolitikum, seoring dengan munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para femnis, munculnya hegemoni laki-laki atas perempuan, sesunguhnya terjadi jauh sebelum era neolitikum yang menandai lahirnya negara-negara kota tersebut.

Antara tahun 3500-3000 SM, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan seksualitas perepmuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan dari institusi politik maupun negara. Dalam konteks di atas, seksualitas perempuan menjadi aset dan kekayaan laki-laki, pertama milik ayah dan kedua milik suami. Kesucian seksualitas perempuan memperoleh nilai ekonomi, yang bisa dijadikan modal tawar menawar.  Uang jemputan dalam kasus peminangan perempuan Makassar atau perempuan Aceh, merupakan contoh konkritnya, di mana harga perawan ditentukan oleh status sosial ayah-nya. Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin menjauhkan perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara ekonomis. Dengan demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja negara-negara kota, mengurangi kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi ini semakin memperkuat sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan status perempuan. Kondisi pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturam negara, berupa Undang-undang Hamurabi (1750 SM), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk[8].

Kendati dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan sedikit hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan Undang-undang Assyiria (1200 SM), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai ibu. Hak itu diberikan kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau, jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi dengan tangan kosong. Dalam konteks Mesopotamia kuno, sumber kekuatan dan kekuasaan berada di tangan ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus patuh kepada kekuasaan mutlak mereka. Dalam Undang-undang Hamurabi dinyatakan bahwa kepala keluarga berhak mengatur perkawinan ank-anaknya. Ia bisa mengirim anak-anak perempuannya ke candi untuk menjadi biarawati. Ia bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar hutang-hutangnya.

Penggunaan cadar bagi perempuan terutama di kawasan jazirah Arab, terpengaruh oleh Undang-undang Asyiria. Dalam undang-undang tersebut, dibedakan secara jelas perempuan yang berhak dan tidak berhak menggunakan cadar. Cadar merupakan simbol bagi kesucian dan keperawanan perempuan. Simbol ini juga menjadi pertanda adanya perempuan yang berada di bawah perlindungan laki-laki, dan perempuan “bebas” yang bisa menjadi “mangsa” seksual bagi siapapun. Dalam konteks masyarakat arab, budaya ini digunakan untuk membedakan antara hurrah dan ‘amat.
Hurrah adalah para perempuan terhormat yang hidupnya di bawah perlindungan laki-laki terhormat. Sedangkan ‘amat merupakan perempuan-perempuan pekerja seksual, yang tidak memiliki pelindung seorang laki-laki. Perintah berjilbab bagi para perempuan, juga terkait dengan budaya masyarakat Arab yang sebelumnya tidak ada perbedaan antara hurrah dan amat tersebut.
Tidak berbeda dengan Hamurabi, Assyiria juga menyatakan bahwa bila seorang suami memperkosa perempuan lain, maka perbuatan itu akan mengotori istrinya. Karena itu ia harus mnceraikan istrinya.jika terjadi pemerkosaan atas gadis oleh laki-laki lajang, maka laki-laki tersebut harus membayar harga gadis tersebut kepada ayahnya dan mengawininya. Dengan demikian, perempuan sama sekali tidak memiliki otonomi dan independensi atas dirinya. Menurut Lerner, sebagaimana dikutip Fatmagul Bertaky, menyatakan bahwa dengan demikian, cadar tidak saja merupakan simbol kelas atas, tetapi lebih penting lagi, ia merupakan simbol yang membantu membedakan antara perempuan yang bisa dinikmati oleh banyak laki-laki, dengan perempuan yang hanya bisa dinikmati oleh satu laki-laki dan hidup berada di bawah perlindungannya.[9]

Dengan demikian, pemakaian cadar dan kerudung atau penutup kepala, sesungguhnya tidak saja merupakan tradisi Islam, tetapi telah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam tardisi Kristen, pemakaian kerudung atau penuup kepala telah dlakukan oleh St. Paul untuk membangun satu bagian pelembagaan Kristen. Dalam agama Yahudi, Yunani dan Byzantium yang berada dalam peradaban Laut Tengah bagian Timur, cadar melibatkan arti sosial yang semakin kompleks. Namun demikian, dalam tardisi agama-agama dunia, tradisi cadar atau kerudung dan penutup kepala, lebih terasa khas dalam trdisi Islam dibanding dalam tradisi agama-agama selainnya.

Pada abad pertama Masehi, satu-satunya wilayah efektif bagi perempuan Yahudi adalah pada lingkungan keluarga. Pembatasan peran perempuan diasosiasikan dengan tradisi perkawinan di era itu. Kekuasaan seorang ayah atas anak perempuan mereka dan kekuasaan suami atas siterinya, demikian luar biasa. Semua hukum tentang perkawinan, kewarisan dan perceraian, kemudian dikonstruksi dengan berpihak kepada kaum laki-laki. Sedikit sekali peraturan hukum yang menetralkan atau mengimbangi kontrol dan kekuasaan ayah dan suami. Seseorang bisa menyebutkan bahwa “uang cerai” yang harus dibayarkan oleh suami kepada isterinya yang diceraikan. Namun di sisi lain anak perempuannya yang belum dikawinkan, memiliki hak untuk mengikuti ayahnya. Dengan demikian, sekali lagi, nilai ekonomis anak  



D.    Perempuan Arab Pada Masa Jahiliyah.

Adapun pandangan Bangsa Arab pada masa jahiliyah tentang perempuan mereka menganggap perempuan bagaikan barang atau budak. Jika suaminya meninggal maka wali suaminya akan datang dan mengenakan pakaiannya,dengan demikian si perempuan tidak dapat menikah kecuali dengan persetujuan oleh wali itu, terkecuali jika ia bisa menebus dirinya dengan harta. Kekejaman orang jahiliyah terhadap kaum perempuan ,juga tdk membiarkan kaum perempuan untuk hidup. Jika seorang istri melahirkan anak perempuam, maka sang suami akan langsung mengambilnya, dibuat lubang baginya lalu dikubur hidup-hidup, tanpa mempedulikan jerit tangis sang anak.
itulah sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka
:
"Apabila bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh" (Q.S.At-Takwir : 8-9).

Karena kebenciannya kepada bayi perempuan, seorang ayah akan marah besar bila mendengar yang lahir adalah anak perempuan, wajahnya akan merah padam, dunia menjadi sempit dan pandangannya gelap, sehingga hampir-hampir ia tidak sadar dengan apa yang sedang dihadapannya. Allah menggambarkan :
"Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah, ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yg di sampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup) ? Ketauhilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (QS.An-Nahl:58-59)

Perlakuan buruk lainnya adalah mereka memerintahkan dan menjajakan budak-budak perempuan mereka untuk melacur agar mereka dapat memetik keuntungan dari pelacuran itu. Di depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya. Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya. Allah menurunkan ayat yang melarang akan hal itu :

"Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untk melakukan pelacuran sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi .Dan barang siapa yg memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu" (QS.An-Nuur:33)

Lebih dari itu Alquran juga mengisahkan tentang keburukan akhlak para perempuan dizaman jahiliyah. Perempuan suka berdandan dengan pakaian laki-laki, sering memamerkan auratnya, senang untuk melacurkan dirinya dan banyak memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada perempuan mukminah agar mereka tidak mengikuti budaya dan tingkah laku jahiliyah. Allah berfirman:

"Dan hendaklah kamu menetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang  jahiliyah yang terdahulu." (QS.Al-Ahzab:33)

Perlakuan buruk lainnya bangsa Arab terhadap perempuan adalah melakukan ;            ” Nikah istibdha’. Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.

Demikian kondisi kaum perempuan dimasa jahiliyah, keadaan mereka tidak lebih dari makhluk tanpa harga diri, yang kehilangan hak dan kepemilikannya.









BAB III
KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
DALAM PANDANGAN ISLAM


A.    Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan Islam

Sesungguhnya Islam telah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum wanita dengan setinggi2nya, ia memberikan kedudukan yg teramat mulia dan luhur, mengangkat mereka dari lembah kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan mereka dari kekejaman dan perlakuan keji manusia yg biadab. Islam datang dengan membawa rahmat bagi seluruh makhluknya. Apalagì kepada kaum wanita yang merupakan makhluk Allah yg mulia.

Sebagai ibu, Allah mengkhabarkan bahwa syurga itu terletak dibawah telapak kakinya. Sebagai seorang istri mereka harus diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, Sebagai seorang anak perempuan, mereka harus dididik dengan pendidikan yg benar, diasuh hingga masa menikah, bahkan seorang ayah yang dapat mengasuh dan mendidik dua orang atau tiga orang anak putrinya dengan sebaik-baiknya akan mendapatkan jaminan syurga, karena tingginya pahala yang dimiliki oleh seseorang yang dapat mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Rasulallah saw.bersabda (HR.Muslim) : 
"Barang siapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu ia memperlakukannya dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi dinding dari (sengatan) api neraka"

Allah memberikan kedudukan yg sama antara laki2 dan perempuan dlm hal pahala dan kedudukan mereka di sisi Allah.Allah berfirman :
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (QS.An-Nahl:97)
"Sesungguhnya Aku tdk akan menyia-nyiakan amalan orang2 yang beramal diantara kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah keturunan sebagian yang lain." (QS.Ali-Imran:195)
B.     Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam

Di antara 114 surat yang terkandung di dalam Al Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengansurat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian yang manusiawi.

Islam adalah agama keTuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S. al-imran: [3] 112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas, yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan (khalifah),tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13), artinya :

“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supayakamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu ;
Sesungguhnya Allah MahaMengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)

Rasulullah saw bersabda yang artinya: ”hak dan kewajiban Allah terhadap hamba-Nyadan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.( HR. Bukhari)

Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkunganalamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos(manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapatmenjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapaiderajat abid sesungguhnya.Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah),antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]: 90), artinya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil  pelajaran”

Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid sesungguhnya.

Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum perempuan aktif di dalamnya. Sebaliknya al-Alqur’an dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi. Dengan demikian, keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi pembangunan bangsa dan negara.

Keadilan dan kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai :
-          hamba Tuhan (kapasitasnya sebagai hamba,- laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan sesuai dengan pengabdiannya Q.S. an-Nahl;[16]: 97),-
-          khalifah di bumi ditegaskan dalam surat al-A’raf [7]: 165,-
-          penerima perjanjian primordial (perjanjian dengan Tuhannya) sebagaimana disebutkandalam surat al-A’raf [7]: 172,- dan Adam dan Hawa dalam cerita terdahulunya yang telah disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 22.
Ayat ayat tersebut diatas mengisyaratkan konsep kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesiona, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal. Namun dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena msih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
Tujuan al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan bagi masyarakat. Keadilan dalamal-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai inividu maupun sebagai anggota masyarakat. Al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik  berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Dengan demikian, terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan (debatable), apakah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya sebagai ”rahmatan lil’alamin” Dalam alquran surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi ; Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukanyang paling terhormat. Manusia juga  diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaandan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antaralelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunya derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuanhanyalah dari segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah: Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan.

Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.

Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwaAllah SWT secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.

Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang PemberdayaanPerempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsipkesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
a.       Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba (Q.S. al-Zariyat (51:56). Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaanantara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa (mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13)
b.      Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al’ard). dalam Q.S. al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata ‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu,artinya, baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
c.       Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-lakidan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an jugamenegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
d.      Adam dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan keterlibatan keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
a.       Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35)
b.      Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
c.       Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.alA’raf/7:23)
d.      Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan (Q.S.al Baqarah/2:187)
e.       Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi 
Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuandan laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran/3:195; Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsepkesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasiindividual, baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mestididominasi oleh satu jenis kelamin saja.

Mengapa Muncul Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih Agama?
Karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkanoleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat, sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkankaum perempuan.

Adapun pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidak adilan terhadap perempuan adalah :
-          Keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki-laki.
-          Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber dari terusirnya manusia (laki-laki) darisurga, sehingga perempuan dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkanlebih jauh lagi perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.

Bias gender yang mengakibatkan kesalah pahaman terhadap ajaran Islam terkait puladengan hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah,Pengertian Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan ArtiHuruf ‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat, serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).

Al-quran tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia.Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yangsama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudahselayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan (Q.S.al-Nahl/16:90);keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan kebaikan dan mencegahkejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang dijadikan sebagai maqasid al- syari’ah atau tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.

C.     Ibu Dalam Pandangan Islam
Islam mengajarkan bahwa kaum ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)
Kita juga sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa besar dimana salah satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Di antaranya disebutkan sebagai berikut: Dari Anas ia berkata: Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar, maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang-tua, membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary)
Bahkan di dalam hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka. Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya. Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya (merupakan) surgamu dan nerakamu.” (HR Ibnu Majah)
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Dari Abdullah Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat ibu. Bersabda Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam: “Allah melarang kalian durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Dalam hadits lain kita juga dapati bagaimana Islam menyuruh menghormati ibu sekalipun ia bukan orang beriman seperti hadits yang diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut ini: Asma binti Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku ibuku dan dia seorang wanita musyrik di zaman Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam. Maka aku datang kepada Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam meminta fatwa beliau. Aku bertanya kepada beliau: “Telah datang kepadaku ibuku sedangkan ia punya suatu keperluan. Apakah aku penuhi permintaan ibuku itu?” Maka Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Iya, penuhilah permintaan ibumu itu.” (HR Bukhary)
Mengapa kaum ibu sedemikian diutamakan?
Karena mereka adalah fihak yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban memikul tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping, penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu adalah fihak yang paling banyak direpotkan oleh anak semenjak mereka masih kecil. Begitu lahir anak menuntut air susu ibunya. Keinginan minum ASI seringkali tidak pandang waktu. Bisa jadi seorang ibu di tengah malam “terpaksa” bangun mengorbankan waktu istirahatnya demi menyusui buah hatinya.
Seorang ibu juga direpotkan ketika anaknya ngompol dan buang air besar. Ibulah yang biasanya harus mencebok dan membersihkan anaknya. Semakin ikhlas seorang ibu mengerjakan semua aktifitas tadi maka semakin melekatlah si anak kepada dirinya. Di balik segala kerepotan tadi sesungguhnya terjalinlah ikatan hati yang semakin kokoh antara ibu dan anak. Itulah sebabnya ketika seseorang sudah dewasa sekalipun, tatkala dalam kesepian tidak jarang rasa rindu akan belaian tangan ibunya yang penuh kasih sayang terkenang kembali.
Dalam pepatah Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Benar, saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap anak. Ibulah yang pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak. Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri (perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi, internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan bahkan dari sekolah formal…! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi anak-anaknya. Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Di masa kita dewasa ini saat mana faham ateisme, materialisme, sekularisme, liberalisme dan pluralisme begitu dominan mewarnai kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran seorang ibu sendirian mendampingi anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai. Sehingga kerjasama antara ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam dunia modern anak-anak kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan kompak dari kedua orang-tuanya sekaligus untuk meng-counter serangan musuh-musuh Islam yang pengaruh buruknya semakin hari semakin hegemonik.
Betapapun, seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk terus-menerus berada di rumah karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan) bagi anak-isterinya. Oleh karenanya kehadiran dan keaktifan peran seorang ibu di rumah mendampingi anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh karenanya Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam menyetarakan hadir dan aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya di rumah dengan aktifitas jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di medan perang menghadapi musuh-musuh Allah.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kaum wanita datang menghadap Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bertanya: “Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah?” Maka Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda : “Barang siapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka sesungguhnya ia telah menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah” (HR Al-Bazzar)


D.    Peranan Perempuan Sebagai Istri Dalam Pandangan Islam

Rasulullah saw. bersabda : ” Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan perhiasan terbaik di dunia ini adalah perempuan yang sholehah”.

Di dalam Islam, peranan seorang istri sangat penting dalam kehidupan berumah tangga, yang mana seorang istri membahagiakan suaminya untuk mendapatkan keridho’an dari Allah. Untuk itu kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana yang disenangi oleh pencipta-Nya yang tersurat dalam surat Al-Ahzab, yakni, seorang perempuan muslimah yang benar (dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami tidak ada di rumah, mempertahankan keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa ada dalam pujian Allah. Ketika seorang perempuan muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia memiliki peranan yang khusus dan pertanggung-jawaban dalam Islam kepada pencipta-Nya. Karenanya, seorang istri akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sebagaimana suaminya memenuhi kewajiban terhadapnya.

Seorang istri memiliki hak untuk Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk berlindung yang didapatkan dari suaminya. Dia (suami) berkewajiban membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri untuk memenuhinya. RAsulullah saw. Bersabda :
” Istrimu memiliki hak atas kamu bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan tempat berlindung dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)

Ini adalah penting untuk dicatat bahwa ketika seorang istri menunaikan kewajiban terhadap suaminya, dia (istri) talah melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya, karenanya dia mendapatkan pahala dari Allah. Aisyah r.a. suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas Zainab ra, istri ketujuh dari Rasulullah saw. ;
”Zainab adalah seseorang yang kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rasulullah dan aku belum pernah melihat seorang perempuan yang lebih terdepan kesholehannya daripada Zainab r.a., lebih dalam kebaikannya, lebih dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.

Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
“ Ketika seorang wanita menunaikan sholat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan mematuhi suaminya, maka dia akan masuk surga dengan beberapa pintu yang dia inginkan”. (Al Bukhori).

Dalam memilih isteri, Islam mengajarkan kepada kaum lelaki muslim untuk memperhatikan dua hal esensial, yaitu:
1) silsilah keturunan calon isteri, dan
2) lingkungan tempat perempuan itu hidup, berikut sejauh mana lingkungan tersebut berpengaruh pada kepribadiannya.

Rasulullah menganjurkan untuk memilih isteri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat terpuji, karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada diri perempuan tersebut. Rasulullah bersabda:
"Pandai-pandailah memilih calon isteri karena saudara isteri akan menurunkan sifat dan karakternya pada anak kalian, dan pilihlah dengan benar perempuan yang akan mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada anak.
  
Islam juga menekankan memilih isteri dari lingkungan sosial yang bersih, karena lingkungan yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada perempuan tersebut, sebaliknya, Islam melarang kaum lelaki memilih isteri dari lingkungan yang buruk. Dalam hadis disebutkan, Rasul melarang untuk mempersunting perempuan cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda:
Berhati-hatilah terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.

Islam juga melarang laki-laki menikahi perempuan pezina. Sabda Nabi :
Jangan sekalipun kalian menikahi perempuan yang terang-terangan berzina, juga perempuan yang tidak sehat secara mental dan psikologis, sebab dikhawatirkan anak yang akan dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya.

Ketika Rasul Saw ditanya, perihal menikahi perempuan yang cacat mental, beliau menjawab: Jangan!

Ali bin Abi Thalib mengingatkan kepada para pria Muslim untuk tidak menikahi perempuan dungu, karena dikhawatirkan anak yang bakal dilahirkannya akan mewarisi kedunguannya, selain itu, perempuan dungu tidak akan mampu mendidik anak dengan baik dan benar. Ali Ra berujar :
Jangan sekalipun kalian mengawini perempuan dungu karena bergaul dengan perempuan seperti itu merupakan petaka bagi seseorang dan anak yang dilahirkan bakal tidak berguna.
Tatkala salah seorang sahabat berkonsultasi kepada Rasul Saw perihal kriteria dasar calon istri, beliau menjawab tegas :
Nilai keimanan dan loyalitas keagamaan harus dijadikan acuan utama memilih pendamping hidup.

Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa suatu hari, seseorang datang menemui Rasul dan meminta nasehat darinya tentang perkawinan. Rasul saw bersabda:
Pilihlah perempuan yang loyal kepada agamanya, niscaya engkau akan bahagia” (HR Muslim).

Memilih pesangan hidup harus memprioritaskan masalah agama di atas harta dan kecantikannya, Rasul mengingatkan :
Jika lelaki mengawini seorang perempuan karena kecantikan atau hartanya, ia tidak bakal mendapatkan apa yang ia cari itu, tetapi bila ia mengawininya karena agamanya, Allah pasti akan memberinya kecantikan dan harta” (HR Turmudzi).

Seorang pria harus memilih perempuan salehah dan dari klan keluarga baik-baik untuk pendamping hidupnya, sebab perempuan yang berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang beriman, akan menjadi perempuan yang taat beragama. Perempuan seperti inilah yang kelak jika bersuami dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Para pria yang hendak menyunting perempuan untuk pendamping hidupnya, hendaknya menentukan pilihannya kepada perempuan yang bisa mengantarkannya atau menjadi mitra hidupnya, untuk meraih kebahahiaan abadi di negeri akhirat (surga Allah), sebagaimana pitutur Rasul Saw:
Jika perempuan salat lima waktu, berpuasa, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka kelak akan dikatakan kepadanya:‘Masuklah ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang kamu sukai’ (HR Ibnu Hibban dan Thabrani).

Sebaliknya, hendaknya para lelaki tidak menikahi wanita jahat. Dalam hadist ;
Kejahatan seorang perempuan jahat adalah seperti jahatnya seribu orang jahat dari kaum lelaki. Kebaikan seorang perempuan yang salehah adalah sepadan dengan amal saleh tujuh puluh orang-orang shiddiqin.

Dalam sebuah riwayat ditandaskan, Rasul Saw bersabda tentang wanita yang digaransi (dijamin) masuk surga, yaitu:
1)      Wanita yang memelihara dirinya, taat kepada Allah dan suami, subur (bisa mempunyai anak) serta sabar;
2)      Menerima apa yang ada—pemberian suami—walaupun sedikit, dan bersifat pemalu ;
3)      Jika suaminya pergi, ia menjaga dirinya dan harta suaminya ;
4)      Perempuan yang ditinggal mati suaminya, sedangkan ia mempunyai anak yang masih kecil-kecil lalu ia menahan dirinya, memelihara dan mendidik anak-anaknya, serta berbuat baik terhadap mereka dan tidak mau nikah lagi karena takut menyia-siakan mereka.

Rasul juga mewartakan tentang perempuan yang kelak menjadi penghuni neraka, yai :
-          Perempuan yang jelek lisannya terhadap suami, jika suaminya pergi, ia tidak menjaga dirinya. Jika suaminya di rumah, ia menyakiti suaminya dengan ucapannya ;
-          Perempuan yang membebani suami (dengan tuntutan) yang suami tidak mampu melakukannya ;
-          Perempuan yang tidak menutup dirinya dari lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya dengan berhias;
-          Perempuan yang sama sekali tidak memiliki keinginan kecuali makan, minum, dan tidur. Ia tidak memiliki gairah untuk mengerjakan salat, untuk mentaati Allah Azza wa Jalla, mentaati Rasul, serta tidak mentaati suaminya. Maka jika ada perempuan memiliki sifat-sifat tersebut, ia adalah  perempuan terlaknat, serta bakal menjadi penghuni neraka Allah, kecuali jika ia bertaubat.

E.     Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam

Dewasa ini tampak semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Ada yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya banyak pula para perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidak layakan perlakuan, seperti ; cuti hamil yang terlalu singkat (hak reproduksi kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai pelecehan seksual.

Allah telah menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaannya). Artinya keduanya diciptakan memiliki cirri khas kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal. Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pda keduanya, tanpa melihat seseorang itu pria maupun wanita.

Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan wanita. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab pria. Dengan demikian perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya.  Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya. bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut kepada Daulah (Baitul Maal), jadi bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja. Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti Islam tidak membolehkannya bekerja untuk mendapatkan harta/ uang  sendiri, bahkan ia pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman :
“… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).

Hanya saja perempuan harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika ia bekerja. Artinya ia tidak boleh menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja, juga tidak boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya dengan alasan waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek bekerja sehingga tidak mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru ia harus lebih memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah, karena apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah. Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika kelaur rumah, sholat lima waktu dan lain-lain.

Perlu disadari bahwa ketika Allah Swt menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok ini terlaksana dengan baik, sebab terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi manusia serta terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya, sebaliknya bila tugas pokok baginya tidak terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya generasi manusia dan kacaunya kehidupan keluarga.
Seperangkat syariat yang menjamin terlaksanya tugas pokok perempuan ada yang berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan wanita (seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh bayinya, menyusuinya sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya), ada pula yang berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali). Semua ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan perempuan  dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak adanya penetapan prioritas tersebut.

Usaha manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah suatu hal yang fitri, namun manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh kekayaan tersebut, sebab bisa jadi manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan hak orang lain. Bila ini yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat, bahkan bisa mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua manusia memiliki hak untuk menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan Allah di bumi ini. Oleh karena itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang boleh bagi manusia untuk memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain dengan “bekerja”. Ini berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak dilarang untuk memiliki harta.

Tatkala bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah Swt pun telah menetapkan jenis-jenis kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah satu diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).

Apabila kita telaan secara mendalam, hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat umum, berlaku bagi pria maupun wanita. Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik ia sebagai ajir (orang yang diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun sebagai musta’jir (orang yang memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).

Transaksi ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim dan tidak boleh bagi pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi ijaroh boleh dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri, pelayanan, guru (pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang bersengketa (peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber alam dan membuat pondasi bangunan ; mengemudikan mobil ; kereta, kapal, pesawat ; menvetak buku ; menerbitkan Koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia memutuskan untuk bekerja, sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan yang dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).

Apabila setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji sejak awal bersikap demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum melakukan aqad). Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada buruh, bahkan majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh, sebab tanpa jasa buruh, usahanya tidak dapat berjalan. Dengan demikian para buruh wanita tidak akan terjerumus pada polemik berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.

Tatkala wanita bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya dihalalkan oleh syara’, ia pun harus memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai dengan ketentuan syara’. Apabila dalam melakukan pekerjaan tersebut mengharuskan wanita bertemu dengan pria, maka wanita pun harus terikat dengan ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan. Oleh karena itu harus difahami bahwa interaksi dalam kehidupan masyarakat antara pria dan wanita (termasuk dalam system kerja) tidak lain adalah hanya untuk saling ta’awwun (tolong menolong). Interaksi kerja ini harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah (seksual). Sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi kewanitaan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan dan lain-lain) untuk menarik perhatian lawan jenis. Bekerjanya wanita haruslah karena skill/ kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai dengan bidangnya.

Pengaturan sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Islam sejak awal telah menjaga agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan system interaksi pria dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum, diantaranya :
1.      Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/ menundukkan pandangannya, yaitu : Menahan diri dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu bukan aurat dan dari melihat aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita. Firman Allah dalam QS An Nur 31 ; “Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya”.
2.      Diperintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di luar rumahnya) yaitu dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59) ;
“… dan hendaklah mereka menutupkan khimar (kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS 24 : 31).
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS 33 : 59).

Yang dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua kaki.
3.      Dilarang berkhalwat pria dan wanita. Sabda Rasulullah ; “tidak boleh berkhalwat laki-laki dan perempuan kecuali bersama perempuan itu ada mahram”
4.      Dilarang perempuan bertabarruj (menonjolkan kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan mahromnya). Sabda Rasulullah ; “barang siapa perempuan yang memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan laki-laki, hingga tercium wanginya,maka dia seperti pezina (dosanya seperti pezina)”.
5.      Dilarang perempuan melibatkan diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya, misalkan ;  pramugari, foto model, artis, dsb.
6.      Dilarang perempuan untuk melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram.
Sabda Rasulullah
; Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
7.      Dilarang perempuan bekerja di tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.

Demikianlah Islam mengatur sistem interaksi pria dan wanita. Semua tidak lain untuk menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum muslimin.

Dewasa ini banyak perempuan (termasuk para muslimah yang terjun ke dunia kerja), walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan yang mereka terima juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat. Keadaan ini memang tidak terlepas dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam Kapitalis ataupun sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita (masyarakat secara umum).

Kalau kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa “perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.

Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan, bahu-membahu dengan kaum lelaki. Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan, antara lain :[10]
1.      Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
2.      Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa’ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya: “Apabila Anda akan membeli atau menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).”
3.      Istri Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau menyangkut keikut sertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan di atas, perlu juga digaris bawahi bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat. Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum perempuan, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi. Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim. Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.

F.     Peranan Perempuan Muslimah Dalam Kehidupan Sosial

Interaksi antara pria dan wanita ternyata dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilarang, karena interaksi tersebut sudah terjadi sebelum masa Nabi SAW. Rasulullah  bersabda, “Kaum wanita adalah saudara kandung kaum pria”.  Hal ini mengandung arti bahwa kaum perempuan haruslah ikut serta dalam berbagai lapangan kehidupan.

Sebagaimana diketahui, lapangan kehidupan tidak terlepas dari keberadaan kaum laki-laki, bahkan peranan penting dalam masyarakat didominasi oleh kaum pria, namun Allah tidak menghalangi perempuan bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria dan sebaliknya, berbicara, bertukar pikiran, atau bekerjasama untuk suatu pekerjaan tidak dihalangi sepanjang tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan agama. 

Kebebasan perempuan dengan segala konsekwensinya, seperti harus bertemu dengan pria merupakan pola yang sudah ditetapkan oleh syariat dan sunnah Rasulullah SAW.  Beliau sangat memahami peran perempuan dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha kebaikan.  Penyalah gunaan kondisi tersebut sama artinya dengan mempersulit dan mempersempit ruang gerak perempuan sekaligus menghalanginya dari melakukan kebaikan serta memposisikan perempuan dalam bidang-bidang yang lemah. Namun kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan mereka dari pelaksanaan tugas dan tanggung-jawab terhadap rumah tangga dan anak-anaknya.     

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN – SARAN

A.    Kesimpulan
1.      Perempuan  selama berabat-abat mengalami penindasan oleh dominasi kaum laki-laki yang mengatas namakan peradaban dan kebdayaan dan juga karena penafsiran yang keliru tentang asal kejadian perempun dan kodratnya yang lemah lembut, namun dewasa ini pemikiran seperti itu mulai sirna , baik karena perjuangan kesetaraan gender maupun karena prestasi perempuan itu sendiri dalam kehidupan social-masyarakat.
2.      Dalam pandangan Islam perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas amal usahanya perempuan memiliki kesetaraan dengan laki-laki, Islam sangat menjunjung keadilan dalam kesetaraan gender. Sedangkan dalam hal peran perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang wajib adalah sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Peranan perempuan sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) hukumnya boleh. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang mubah tidak boleh meninggalkan hal yang wajib.
3.      Meskipun kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan social dan masyaakat sudah mulai membaik, namun dewasa ini terkadang pelecehan terhadap perempuan masih saja terjadi, baik karena sifat kebiadaban laki-laki maupun karena kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender yang diajarkan agama, khususnya Islam, dan bahkanpara ulamapun sebagian ada yang tidak terbuk, tidak welcome akan kesetaraan gender.

B.     Saran – Saran
Makalah ini disusun dengan segala keterbatasan penulis,baik mengenai disiplin ilmu maupun pengalaman keagamaan yang sangat minim, berharap kekeliruan penulisan ini ditanggapi dengan penyempurnaan, sehingga pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat banyak, khususnya sekali umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA

1.     Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964.
2.     Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo, Al-Idarat Al-'Amat lil Azhar, 1959, .
3.     Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H jilid IV.
4.     Amin Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam Al-Mar'at Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t.
5.     Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar'at fi Al-Mujtama' Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986.
6.     Ibrahim bin Ali Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar, Kairo, Dar Al-Syuruq 1979.
7.     Lihat biografi para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat, karya  Ibnu Hajar, jilid IV.
8.     Muhammad Al-Ghazali, op.cit.
9.     Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit.
10. Abdul Wahid Wafi, Prof. Dr., Al-Musawat fi Al-Islam, Kairo, Dar Al-Ma'arif, 1965.
11. Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., op.cit.



[1] Haniva Az Zahra, Peserta Program Pembinaan SDM Strategis Nurul Fikri, http://kampus.okezone.com/read/2011/03/09/95/432903/95/perempuan-dan-kesetaraan-gender


[2]  Hidle Hein, “Liberating Philisophy: An End to the Dichotomy of Spirit and Matter,” eds. dalam Ann Gary dan Marlyn Persall, Women, Knowledge and Reality (London: Unwin Hyman, 1989), 294. 3
[3] Aristotels, Politics (Istambul: Remzi Publishing House, 1983), 54
[4] Fadhilah Suralaga&Eri Rosatria (ed.), Perempuan : Dari Mitos ke Realitas (Jakarta: PSW UIN Jakarta - McGill-ICIHEP, 2002), 49-50.
[5] Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.) Feminis Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The Japan Foundation, 2001), 23-34.

[6] Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur Iman Subono, Feminis Laki-laki, 90.
[7] Ivan A. Hadar, “Feminisme, Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan Masyarakat”,dalam Nur Iman Subono,Feminis Laki-laki, 93-111. 7 Ibid.
[8] Fatmagul Berktay,” Ciri Khusus Patrarkhi: Kontrol Sosial terhadap Tubuh Perempuan”, dalam Suralaga&Rosatria (ed.), Perempuan: dari Mitos, 1-39.
[9] Ibid.
[10] http/:attanzil.wordpress.com/2008/07/20/kedudukan-perempun-dalam-islam/#r199

Label

Translate

aku dan sabrina, my classmate

aku dan sabrina, my classmate