Minggu, 21 April 2013

alam takambang jadi guru



FILSAFAT ALAM TAKAMBANG JADI GURU
NORMA DASAR HUKUM ADAT MINANGKABAU
oleh : Uni Marni Malay
__________________________________________________
(Bagian 1)
KABAU TAGAK KUBANGAN TINGGA……………!!!
Panakik pisau sirauik
ambiak galah batang lintabuang
silodang ambiak ka niru
nan satitiak jadikan lauik
nan sakapa jadikan gunuang
alam takambang jadi guru

Dijua indak dimakan bali,
Digadai ndak dimakan sando,
Aia nyo buliah diminum,
Buahnyo buliah dimakan,
Kabau tagak kubangan tingga”

maknanya ;
Tanah ulayat tidak boleh dijual, kalaupun digadaikan tidak boleh untuk selamanya, tapi dapat ditebus, apa bila ada yang menggunakan tanah ulayat, hak ulayat kembali utuh kalau tidak digunakan oleh yang ybs. Demikianlah pada dasarnya Tanah ulayat  Minangkabau dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan anak kemenakan atau anggota kaum, karenanya tanah ulayat tidak boleh dijual atau dihilangkan begitu saja.
Tanah Ulayat Minangkabau  dapat digadaikan apa bila memenuhi empat peryaratan yaitu;
-          Mayik tabujua diateh rumah,
-          rumah gadang ketirisan,
-          gadih gadang alun balaki, dan
-          pambangkik batang tarandam.

Dan Objek hak gadai di Minangkabau adalah hak mengelola atau hak menikmati hasil ulayat bukan atas tanahnya. Tanah tetap kepunyaan kaum. Dalam menggadaikan harus disepakati oleh seluruh kaum secara bersama-sama, baik seluruh anggota suku atau nagari. Penguasaan terhadap tanah ulayat ini adalah dipegang oleh mamak kepala waris atau penghulu kaum.

Alam takambang jadi guru, demikian pandangan hidup mendasari hukum tanah adat Minangkabau, bahwa sang kerbau boleh berendam sepuas-puasnya di kubangan, namun ketika dia selesai kubangan tidak dibawa serta.

Bahwa Prinsip dasar hukum adat Minangkabau adalah, Tanah Ulayat tidak dapat di jual, oleh karena kalau“ dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando;

Bahwa tujuan yang tersirat dari pepatah itu adalah agar jangan sampai terjadi ;
“jalan di aliah urang lalu,
Cupak diganti rang pangaleh”

Untuk mana diperlukan sikap orang Minang yang kokoh dengan prinsip ;
Kabau tagak kubangan tingga”,
Bahwa tanah ulayat Minangkabau dalam keadaan yang benar2 darurat dalam arti sudah menyangkut kepentingan yang sangat sacral, berkaitan dengan menjaga harkat dan martabat kaum, hanya bisa , digadaikan !

Setelah masyarakat Minang menganut agama Islam, yang memberikan dasar yang kuat terhadap hukum dan budaya Minang sebagaimana tertuang dalam PIAGAM BUKIK MARAPALAM : yang diikrarkan dengan, Sumpah  Sati Marapalam :

“Siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan biso kewi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah indak baurat, di tangah dilarik kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.”

Sumpah sati marapalam ini merupakan sumpah yang sangat tinggi dalam masyarakat Minangkabau yang boleh jadi setara dengan orang bersumpah atas nama Alquran.

Kemudian ditetapkan  sendi- sendi hukum adat dalam bentuk pepatah adat yang terkenal dengan :
Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah,
Syarak mandaki, Adat manurun,
Syarak nan lazim, Adaik nan kawi,
Syarak babuhue mati, Adaik babuhue sintak,
Syarak balinduang, Adat bapaneh,
Syarak mangato, Adak mamakai,
Syarak batilanjang, Adaik basisampieng.
Maka dalam hukum tanah adat Minang timbul pula, ‘tanah wakaf’, yaitu penguasaan tanah pada suatu lembaga social yang digunakan untuk kepentingan lembaga sosial tampa menerima imbalan berbentuk materi, Misalnya tempat mendirikan Masjid, musalla, sekolah, jalan, saluran irigasi dan kepentingan umum lainnya. Istilah wakaf berasal dari bahasa arab “ wakafa “ artinya menahan sesuatu benda agar tidak habis sehingga dapat dimanfaatkan oleh orang banyak dan pemiliknya akan memperoleh pahala selama benda itu digunakan oleh masyarakat.

Demikian konnsep dasar hukum Adat Minangkabau itu kemudian dijadikan dan atau dirumuskan dalam BAB II, Pasal 2, angka 1 dan  2, PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA BARAT NOMOR : 16 TAHUN 2008 TENTANG TANAH ULAYAT DAN PEMANFAATANNYA , sebagai AZAS, MANFAAT DAN TUJUAN, yakni :
1.      Azas utama tanah ulayat bersifat tetap berdasarkan filosofi adat Minangkabau “ jua ndak makan bali, gadai ndak makan sando”
2.      Azas pemanfaatan tanah ulayat adalah manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat adat, berkeadilan dan bertanggung jawab sesuai dengan falsafah Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah.

Dan selanjutnya di dalam pertimbangannya huruf b, dinyatakan pula :
bahwa pada Propinsi Sumatera Barat terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan pemanfaatannya berdasarkan pada ketentuan hukum adat setempat.

Selanjutnya di dalam alinia ke-3 Penjelasan Umum PERDA tersebut dinyatakan  ;
Di Propinsi Sumantra Barat dalam kenyataannya masih diakuinya tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaa dan penggunaannya  didasaarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga  masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya, sehingga dikenal adanya tanah ulayatNagari, tanah ulayat suku, tanag ulayat kaum dan tanah ulayat Rajo yang diatur menurut adat yang berlaku pada tiap Nagari yang ada di Sumatra Barat.

Namun apa yang terja pada 40 tahun terakhir ? TELAH TERJADI PERAMPOKAN BESAR2 TERHADAP TANAH ULAYAT MINANGKABAU DENGAN DIKELUARKANNYA HGU TERHADAP PERKEBUNAN SWASTA, YG BERAKIBAT TANAH ULAYAT AKAN BEROBAH JADI TANAH NEGARA, HAL INI JELAS BERTENTANGAN DENGAN HUKUM ADAT MINANGKABAU DAN UU POKOK AGRARIA (PASAL 5 ; YANG MENYATAKAN TERHADAP TANAH BERLAKU HUKUM ADAT SETEMPAT )
KENAPA ?
KOK BISA YA ?
(BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOMENTAR ANDA, KRITIK DAN SARAN DARI ANDA AKAN MEMBUAT BLOG INI BERMANFAAT !

Label

Translate

aku dan sabrina, my classmate

aku dan sabrina, my classmate