Perempuan Dan Kesetaraan Gender
Oleh : Uni Marni Malay
(Ketua Ikatan Cendikiawan Perempuan Minang)
Menurut bahasa, kata gender
diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter,
according as they are regarded as male, female or without sex” yang
artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin,
atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang
bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan
antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara
laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen
tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara
sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita ketahui
bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan keibuan
sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya
ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan.Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah
lembut. Dan sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh
karena itu gender dapat berubah dari individu ke
individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat,
bahkandari kelas sosial yang satu ke
kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap
dan tidak berubah.
Gender tidak bersifat biologis,
melainkan dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak
dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat
berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat
mendukung dan bahkan melarang keikut sertaan anak
perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat ketidak samaan kesempatan, sehingga dalam
masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan
formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai
yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan
fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan perbedaan biologis atau
kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan
tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi
perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata
lain, gender adalah nilai yangdikonstruksi
oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak
dan tidak bisa lagi diganti. Jadi,
kesetaraan
gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama
menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh
hak-hak dan
potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan
berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat
dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature
dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis
dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran
gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan
teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme,
mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan
merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai
hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua
teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan.
Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis
kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan
bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan
seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa
masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan
lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur
masyarakat patriarkhi. Oleh
karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin
perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini
penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat
besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup
sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga
berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak
wajar dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan.
Teori
nature (Kelemahan Sebagai Kodrat
Perempuan) adalah
teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran
yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami
oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan
bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar,
misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas,
basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga,
laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu
berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak
berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif
dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif
yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
Senada
dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan,
dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam
pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan
tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature
tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato
tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia
sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah.
Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan
dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika
Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya,
Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar
mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi
tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan
seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang
dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif
dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki
pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan
dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia
karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati
Menyimak
pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan
terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau
melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang
penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai
bagian dari masyarakat yang beradab.
Dengan
demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk
melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan
pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol
manusia.Dalam konteks
ini,
menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu
perlawanan, perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam dari pada dengan kebudayaan, perempuan berada pada posisi margin
dan periferi kebudayaan.
Memperkuat
teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh
pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan
perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan
sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang
emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan
aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan
adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo
menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal
dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang
menghunjam pada tataran kos`mologis.
Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan
kekelannya, sebaliknya perempuan yang direpresentasikan dengan materi,
mengkategorikannya pada instabilitas dan mudah berubah. Philo secara lebih vulgar menyatakan ; dikhotomi laki-laki dan perempuan berikut peran sosial yang
diembannya, merupakan fakta dari alam dan hukum dunia mengikuti perintah alam. Di
samping filsafat tentang definisi nature-nya,
Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni
naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan sebagai mitos atau sejarah,
namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu pada realitas kosmik. Cerita Adam
dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan dan perempuan.
Senada
dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo
yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang
mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang
menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan
digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil. Berdasarlan pemikiran
itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya
ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Menurut Philo, perempuan secara
alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan
berhasil menggodanya, bahkan
rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial),
Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya
tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi
dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari
kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki
kategorisasi dan terumuskan secara
jelas.
Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu
tanpa identitas adalah mustahil. Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi
atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan
batas-batas tertentu.
Konsepsi
dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga
modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini
adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang
lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa
lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi
dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan
sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan
sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan
tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana
gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati,
terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh
karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang
mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan
vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu
dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi
kedua jenis kelamin manusia ini.
Konsepsi
ideologi patriarkhi yang sessunguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman
neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang
melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini
diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak
setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan”
ideologis antara kekuatan patriarkhi --yang diwariskan oleh peradaban kuno--
dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut: Patriarkhi mengurung
mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat
antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan
identitas perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan
didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan
adalah mahluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas
rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional,
feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya
dikhotomi, konsepsi kedua dari metafiska Barat. Persekongkolan
antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terlatak pada adanya dominasi satu
pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi
laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang
dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang
publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada
identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini
lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuenasi
dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah
kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati
posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan. Untuk melanggengkan
superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus
menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek
dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara
lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara
dan bertindak, dan seterusnya.
Berdasarkan
kolaborasi dan “perselingkuhan” kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan
barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding
perenpuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap
perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah
ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh
manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia
dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas,
dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan
absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia. Identitas,
dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana
budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan
bahkan politik untuk mengokohkannya.
Dalam
konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai
pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma
wanita, demikian
juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang
kuat oleh institusi agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain
tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh
masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan
bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun
laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias,
kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan
telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak
pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat
agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting
oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga
memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk
mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan
perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan
diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki,
berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa
berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti
perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan
manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan
realitas pengkondisian sosial masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa
semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi
sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan
untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang
menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi,
subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah
satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat
ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi
berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan
menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau
feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan
perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah
peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin.
Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan
oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung
menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi
tugas perempuan. Sementara
kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah
tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam
masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak.
Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja
misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung
dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka
dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan
kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah
merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu
kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan
perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah
bergantung pada jenis kelamin
tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender
adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya
berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu
dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi
berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.
Dengan
berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan
laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh
ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.