= Makalah =
KEDUDUKAN
PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
DALAM PANDANGAN
ISLAM
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah HAM Dan Demokrasi Dalam Islam Pada
Semester III Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Bidang Study Hukum Islam
di Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta.
Disusun Oleh : MARNI MALAY, SH.
Dosen Pembimbing :
DR. ILYAS ISMAIL, MA.
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Islam
As-Syafiiyah Jakarta
INDONESIA
2013
ABSTRAK
Perempuan, muslimah menurut Ajaran Islam memiliki kedudukan terhormat, karena prinsip pokok dalam Islam adalah
persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa,
suku dan keturunan. Perbedaan yang digaris bawahi dan
yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian
dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perempuan, seyogianya memiliki kedudukan khusus dan mulya dalam tatanan masyarakat Islam, oleh karena Islam
memandang wanita lewat kesadaran terhadap tabi’atnya hakekat risalahnya serta
pemahaman terhadap konsekwensi logis dari sepesial kodrat yg dianugerahkan
Allah Ta’ala kepadanya.
Kaum Perempuan,
adalah ibu dari seluruh umat manusia yang dilahirkan, karenanya patut menempati
tingkat kemuliaan yang tertinggi dari anak-anak yang mereka lahirkan.
ABSTRACT
Women,
is
the most magical creatures created from the rib of the man of God, but
it is the biggest test for men. Power and any tensile force no one can match
the power and style of female attractiveness, so he could be able to drive him
favor in paradise and heaven hereafter, and as an army man who plunged the
world into hell and hell afterlife, because if it had been dealt with women, he
could do anything, even sacrifice life though.
Women,
as
held great appeal to them, we can see how God describes angels of
heaven are beautiful women and the sacred as a gift and or replies to reward
his servants who Taqwa.
Women, often called the backbone of the country, because supposedly the word of the wise, the good woman could enforce the state, but the ugliness could destroy the country.
Women, often experience poor treatment in the community, particularly in the equation or the rights and gender equality, women are often treated as second-class citizens in both the public and social life in employment.
Women, often called the backbone of the country, because supposedly the word of the wise, the good woman could enforce the state, but the ugliness could destroy the country.
Women, often experience poor treatment in the community, particularly in the equation or the rights and gender equality, women are often treated as second-class citizens in both the public and social life in employment.
Women, Muslim according to Islamic
teachings as an honor, because the basic principles of
Islam is equality between men, between men and women or between nations, tribes
and descendants. Differences are highlighted and then raise or lower the value
of a person's devotion and piety is God Almighty.
Women, should have a special status
in society and mulya Islam, because Islam considers
tabi'atnya women through awareness and understanding of the nature of his
treatise logical consequence of sepesial nature that Allah Almighty bestowed
them.
Women, is the mother of all human
beings are born, therefore should occupy the highest levels
of the glory of the children they gave birth.
KATA
PENGANTAR
Alhamdullilah,
Makalah yang berjudul, “KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM“, ini dapat penulis selesaikan untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah HAM
Dan Demokrasi Dalam Islam, Pada Semester III Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Hukum Bidang Study
Hukum Islam di Universitas Islam As-Syafiiyah Jakarta.
Terima kasih penulis aturkan kepada Bapak Dr. Ilyas Ismail, MA.
Dosen
Mata Kuliah HAM Dan Demokrasi Dalam Islam, atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama penulis
menyusun makalah ini.
Penulis
telah berusaha untuk menyelesaikan penulisan makalah ini dengan sebaik baiknya
sesuai dengan kemampuan dan ilmu yang penulis miliki, namun penulis menyadari,
“ Tak ada gading yang tak retak” , oleh karena itu Penulis mengharapkan
dan akan sangat berterima kasih terhadap
pembaca yang berkenan memberikan saran
dan kritik untuk
kesempurnaan makalah
ini.
Jakarta,
1 April
2013
Wassalam,
Penulis.
MARNI
MALAY, SH.
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN
JUDUL ……………………………………………………….………. 1
ABSTRAK ………….…………………………………………………………….. ... 2
ABSTRACT ………………………… ..………………………...……………...….. 3
KATA PENGANTAR ……………………………...……………...………..…….. 4
DAFTAR ISI ……………………….……….……………………….……............... 5
BAB
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……..……….………….……..…..……….………………… 6
B. Perumusan Masalah …………….....…………………..……….….…….…… 9
C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan ……………………………………….…… 9
D. Metode Penulisan ….…………………………………….….….…................. 9
BAB
II. PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
A.
Dinamika Kehidupan Dan Asal Kejadian Perempuan ………………………. 10
B.
Perempuan
Dan Kesetaraan Gender …………………………………………. 14
C. Dominasi Laki – Laki Terhadap Perempuan ….……………………………… 23
D.
Perempuan
Arab Pada Masa Jahiliyah ……………………………………….. 2 7
BAB
III. KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM
PANDANGAN ISLAM
A. Kedudukan Perempuan Dalam Pandangan Islam …………………..……….. 29
B. Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam ……………………….……….. 30
C. Ibu Dalam Pandangan Islam …………………………………….…………… 35
D. Istri Dalam Pandangan Islam …………………………………….…………... 39
E. Muslimah Bekerja Dalam Pandangan Islam
………….……………………… 43
F. Muslimah Dalam Kehidupan Sosial …………………………………………. 50
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN – SARAN
A. Kesimpulan …………………………………………………………………… 51
B. Saran –Saran ………………………………………………………………….. 51
DAFTAR PUSTAKA ……….……………………………………………………… 52
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
erempuan adalah makhluk yang sangat
lembut, karenanya
dianggap lemah dan tidak
berdaya, sehingga berabat –abat lamanya, sejak adanya peradaban manusia di muka
bumi, kaum
perempuan selalu menjadi
objek dominasi dan penindasan kaum laki-laki dan tidak memiliki hak apapun dalam
pranata sosial dan masyarakat,
sehingga harkat dan martabat kaum perempuan berada pada
tingkat yang paling rendah, bahkan dewasa, diabat modern sekarang ini ditengah
bergaungnya teriakan persamaan hak laki-laki dan perempuan atau yang lebih
terkenal dengan istilah,”kesetaraan gender”, dan “Hak Azazi Manusia (HAM)“, masih sering
terjadi perlakuan laki-laki yang berbuat tidak semestinya terhadap perempuan,
Namun
pemikiran-pemikiran seperti itu lambat laun kian memudar seiring dengan
perkembangan dan perubahan zaman,
meskipun ada
tahum 1960-an lahir suatu gerakan perempuan di dunia Barat yang menamai “Gerakan
Feminisme”, suatu
gerakan yang menuntut hak akan keberadaan perempuan yang selama selalu dibelakang kaum laki-laki untuk
menjadi sama bahkan lebih kedudukannya dibandingkan laki-laki, suatu gerakan perempuan dalam
pembebasan dari belenggu penindasan yang sebenarnya telah ada sejak beberapa abad
yang lalu.
Akan tetapi gerakan pembabasan yang
terjadi di Barat ternyata
tidak sesuai dengan syariat Islam,
sehingga lahirlah
feminisme Islam sebagai bentuk ketidak puasan atas gerakan feminisme Barat.
Banyak
faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan
kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran
laki-laki dan perempuan,
faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, bahkan tidak jarang agama di atas namakan
untuk pandangan yang merendahkan perempuan.
Terdapat
dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature
dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis
dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran
gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan
teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan
bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan
konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil
konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua
teori ini senantiasa
berjalan secara berlawanan,
tidak didefinisikan secara alamiah dan setara, laki dan perempuan, kedua jenis kelamin ini
dikonstruksikan secara sosial,
bahwa
kodrat laki-laki dikatakan kuat, macho, tegas,
rasional, dan seterusnya, sebaliknya,
kodrat perempuan
lemah, emosional dan seterusnya.
Oleh karena itu diperlukan pemosisian
apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan kodrati atau konstruksi, mengingat implikasi dari konsep
yang berbeda tersebut sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan sosial-kultural, karena berdampak pada adanya
pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dan tidak pantas untuk dilakukan oleh
laki-laki atau perempuan.
Menurut Ajaran Islam, Perempuan, memiliki kedudukan terhormat, karena prinsip pokok dalam Islam adalah
persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa,
suku dan keturunan. Perbedaan yang meninggikan
atau merendahkan manusia
dalam artian perempuan dan laki-laki memiliki dan
yang membedakan keduanya hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada
Allah, sebagaimana
firman-Nya ;
“Wahai
seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki
dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa (QS 49: 13).”
“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya
kepada-Ku lah kamu akan kembali.” (QS. Luqman: 14)
Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ;
orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang
batten berhak bagi aku untuk berlaku bajik kepadanya?”
Nabi
menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa?” Nabi
menjawab, “Ayahmu.” (HR. Bukhari-Muslim)
Di Indonesia kedangkalan pemahaman terhadap ajaran Islam telah menimbulkan kekeliruan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain ; Undang Undang
Perkawinan Indonesia (UU Nomor 1 Than 1974) mengenai ketentuan harta bersama
dalam perkawinan, yang sangat merugikan kaum perempuan.
Bertolak dari latar belakang di atas, penulis akan memaparkan mengenai
kedudukan perempuan (kesetaraan gender) dalam Islam dengan membandingkannya
dengan perkembangan kesetaraan gender dalam peradaban manusia.
B.
Perumusan Masalah
Permasalahan
yang hendak dingkat dalam makalah ini adalah :
Bagaimana
kedudukan perempuan (KESETARAAN GENDER) dalam Islam dan implementasi serta
perkembangannya dalam pembentukan hukum di Indonesia
C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan.
1. Tujuan
Penulisan :
a. Mengetahui tentang kedudukan perempuan dalam Islam dan
implementasinya dalam pembentukan hukum di Indonesia umumnya dan korelasinya
terhadap perkembangan Islam di Indonesia khususnya mengenai kesetaraan gender
bagi kemaslahatan pemeluknya dunia dan akherat.
b. Sebagai langkah awal bagi penulis untuk penyusunan
Thesis nantinya dalam menyelesaikan study di Pasca Sarjana Magister Hukum.
2.
Kegunaan
Penulisan :
a.
Kegunaan Praktis ; Penulis
berharap keseluruhan data dan informasi yang
disajikan dalam dalam
makalah ini dapat memberikan masukan bagi para penyelenggara Negara dalam
pembentukan dan pembangunan hukum Islam kotenporer Indonesia.
b.
Kegunaan Teoritis ; Diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan, peningkatan dan pengembangan serta
pembaharuan hukum Islam, sehingga
dapat diimplementasikan dalam
penanganan masalah Hukum Nasional terhadap masyarakat Islam, khususnya mengenai kedudukan perempuan yang
sesuai dengan ajaran
Islam.
D. Metode
Penulisan.
Penulisan
makalah ini
bersifat studi kepustakaan (library research), di mana data yang
diperoleh berdasarkan pustaka melalui Al-Quran dan Hadist, buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dan laporan,
makalah dan atau artikel-artikel yang berhubungan
dengan kedudukan
perempuan dalam Islam dan perannya dalam pembentukan hukum
Indonesia kontenporer
yang didapat melalui internet.
BAB
II
PEREMPUAN
DAN KESETARAAN GENDER
A.
Dinamika
Kehidupan Dan Asal Kejadian Perempuan
esetaraan
gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa
pertimbangan selanjutnya,
tapi
melihat hal dan kewajiban maksimal yang bisa dilakukan dan didapatkan serta
sesuai dengan konteks keperempuanan.
Perempuan
dengan segala kelebihan dan kekurangannya tidak diciptakan sebagai pelengkap
tanpa maksud. Tetapi betapa perempuan membuat dunia ini menjadi lebih manusiawi
dan berwarna. Perempuan bahkan menjadi simpul majunya suatu peradaban, yang
ditangannya lah arah dan gerak bangsa ditentukan.
Banyak
faktor yang telah mengaburkan keistimewaan serta memerosotkan kedudukan perempuan dalam masyarakat, disamping pengaruh perkembangan peradaban dan
kebudayaan manusia yang cendrung mempertentangkan peran
laki-laki dan perempuan,
faktor lainnya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan, bahkan tidak jarang agama di atas namakan untuk
pandangan yang merendahkan perempuan.
Berbedakah
asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan diciptakan oleh tuhan
kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis (kotoran) akibat ulah
setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya perempuan dan
benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari surga? Demikian
sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh sementara pihak
sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar pada masa pra-Islam
dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan masyarakat abad
ke-20 ini.
Pandangan-pandangan
tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara lain melalui ayat pertama
surah Al-Nisa':
Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis yang sama dan darinya
Allah menciptakan pasangannya dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Demikian
Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan (lelaki dan perempuan)
dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa
dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik
yang lelaki maupun yang perempuan.
Benar bahwa
ada suatu hadis Nabi yang dinilai shahih (dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya) yang berbunyi:
Saling pesan-memesanlah untuk
berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu
Hurairah).
Benar ada
hadis yang berbunyi demikian dan yang dipahami secara keliru bahwa perempuan
diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang kemudian mengesankan kerendahan derajat
kemanusiaannya dibandingkan dengan lelaki. Namun, cukup banyak ulama yang telah
menjelaskan makna sesungguhnya dari hadis tersebut.
Muhammad
Rasyid Ridha, dalam Tafsir Al-Manar, menulis: "Seandainya tidak tercantum
kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)
dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas, niscaya pendapat yang keliru
itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang Muslim."
Tulang rusuk
yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa
hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama
dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki
untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana
fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Memahami
hadis di atas seperti yang telah dikemukakan di atas, justru mengakui
kepribadian perempuan yang telah menjadi kodrat (bawaan)-nya sejak lahir. Dalam Surah
Al-Isra' ayat 70 ditegaskan :
“ Sesungguhnya Kami telah memuliakan
anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan
mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami
ciptakan.”
Tentu,
kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, demikian pula
penghormatan Tuhan yang diberikan-Nya itu, mencakup anak-anak Adam seluruhnya,
baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh ayat 195 surah
Ali'Imran yang menyatakan:
“ Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain,
dalam arti bahwa "sebagian kamu (hai umat manusia yakni lelaki) berasal
dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (yakni
perempuan) demikian juga halnya."
Kedua jenis
kelamin ini sama-sama manusia. Tak ada perbedaan antara mereka dari
segi asal
kejadian dan kemanusiaannya.
Dengan
konsideran ini, Tuhan mempertegas :
“ Sesungguhnya Allah tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS
3:195)”.
Pandangan
masyarakat yang mengantar kepada perbedaan antara lelaki dan perempuan dikikis
oleh Al-Quran. Karena itu, dikecamnya mereka yang bergembira dengan kelahiran
seorang anak lelaki tetapi bersedih
memperoleh anak perempuan.
“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan
kelahiran anak perempuan, hitam-merah padamlah wajahnya dan dia sangat bersedih
(marah). Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan
"buruk"-nya berita yang disampaikan kepadanya itu. (Ia berpikir)
apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah menguburkannya
ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah! Alangkah buruk apa yang mereka
tetapkan itu “(QS
16:58-59).
Ayat ini dan
semacamnya diturunkan dalam rangka usaha Al-Quran untuk mengikis habis segala macam
pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya dalam bidang
kemanusiaan. Dari ayat-ayat Al-Quran juga
ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis tidak hanya tertuju kepada perempuan
(Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang membicarakan godaan, rayuan
setan serta ketergelinciran Adam dan Hawa dibentuk dalam kata yang menunjukkan
kebersamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti:
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya
... “(QS 7:20).
“Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu
dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati) sebelumnya ... “(QS 2:36).
Kalaupun ada
yang berbentuk tunggal, maka justru menunjuk kepada kaum
lelaki (Adam), seperti dalam firman Allah :
“ Kemudian setan membisikkan pikiran
jahat kepadanya (Adam) dan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan
kepadamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS 20:120).
Demikian
terlihat bahwa Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang sewajarnya serta
meluruskan segala pandangan yang salah dan keliru yang berkaitan dengan
kedudukan dan asal kejadiannya.
Tanggal
8 Maret 2011, kembali
kita memperingati Hari Perempuan Internasional, hari yang didedikasikan untuk
perjuangan kaum hawa, hari yang diperingati khusus menandakan bukti bahwa
wanita itu luar biasa,
namun kenyataan perjuangan kesetaraan gender yang digaungkan tidak berakibat
apa-apa bagi kebaikan manusia, Hari
Perempuan Internasional tak lebih sekedar seremonial dan isapan jempol belaka, perempuan
tetap sebagai pihak yang tidak dipandang sebelah mata.
perempuan
masih diangap
dengan stereotipe yang lemah dan menjadi sosok pelengkap.
Ironisnya lagi tidak
hanya kau pria yang berpikiran seperti itu, tetapi juga perempuan yang tidak
percaya diri, bergantung
pada lawan jenisnya untuk mengetahui apa yang namanya kebahagiaan hidup dan kurang meyakini bahwa
sebenarnya perempuan tidak diciptakan berbeda dengan kaum pria. Mereka termakan pola berpikir
bahwa peran perempuan terbatas pada dapur, sumur dan tempat tidur, sehingga
pada akhirnya hal di luar itu menjadi tidak penting. Sosok
perempuan yang berprestasi dan menyeimbangkan antara keluarga dan karier kerja
menjadi sangat langka ditemukan.
Perempuan
seringkali takut untuk berprestasi karena tuntutan pekerjaan sebagai ibu rumah
tangga yang tidak bergaji dan tidak pernah berhenti, atau perempuan lainnya
yang terlalu fokus untuk urusan luar rumah dan terbengkalai untuk keharmonisan
keluarganya. Keseimbangan untuk urusan internal keluarga dan pencapaian diri
yang terus meningkat semakin sulit untuk digapai. Selain tugasnya yang banyak
dan tentunya tidak mudah. Perempuan pun terikat banyak aturan dan pembatasan.
Misalnya saja, perempuan harus seperti ini dan harus seperti itu, sehingga membuat perempuan semakin tua
semakin tidak produktif.
Pandangan
seperti ini harus
dirubah, karena
sudah tidak masanya lagi perempuan yang sukses adalah perempuan yang diam di
rumah saja dan menganggap kontribusi untuk dunia luar tidaklah penting, karena sedikit apapun
kontribusi yang bisa kita lakukan untuk lingkungan adalah modal dan harta kita
untuk mampu berbuat lebih banyak,
bahwa seorang
perempuan tidak hanya bertanggung jawab untuk keunggulan keluarganya, tetapi
juga bagaimana menjadi ibu peradaban yang membangun generasi super dalam perannya sebagai
seorang ibu yang melelahkan dan tak mengenal batas waktu serta mampu menyeimbangkan semuanya dan
tetap mencapai target target diri merupakan nilai tambahan yang membuatnya lebih
unggul dibanding kaum pria. Pun dengan segala aturan dan batasan yang dimiliki, semua norma dan nilai yang berlaku
di masyarakat adalah panduan yang
menjamin keselamatan dan kebaikan bagi kaum
perempuan. [1]
B. Perempuan
Dan Kesetaraan Gender
Menurut bahasa, kata gender
diartikan sebagai “the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter,
according as they are regarded as male, female or without sex” yang
artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin,
atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang
bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan
antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara
laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen
tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara
sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses
sosial dan budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita ketahui
bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan keibuan
sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada hakikatnya
ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan.Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah
lembut. Dan sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh
karena itu gender dapat berubah dari individu ke
individu yang lain, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat,
bahkandari kelas sosial yang satu ke
kelas sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap
dan tidak berubah.
Gender tidak bersifat biologis, melainkan
dikontruksikan secara sosial. Karena gender tidak
dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat
berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu dapat
kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang dapat
mendukung dan bahkan melarang keikut sertaan anak
perempuan dalam pendidikan formal, sebagai akibat ketidak samaan kesempatan, sehingga dalam masyarakat
dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai
yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan
fungsi serta peran perempuan dan laki-lakidikarenakan perbedaan biologis atau
kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan tidak
lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi
perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Atau dengan kata
lain, gender adalah nilai yangdikonstruksi
oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak
dan tidak bisa lagi diganti. Jadi,
kesetaraan
gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama
menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara penuh
hak-hak dan
potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan
berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat
dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature
dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis
dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran
gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan
teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme,
mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan
merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai
hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua
teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan.
Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis
kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan
bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan
seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa
masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan
lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur
masyarakat patriarkhi. Oleh
karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin
perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini
penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat
besar bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup
sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga
berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak
wajar dilakukan oleh laki-laki atau
perempuan.
Teori
nature (Kelemahan Sebagai Kodrat
Perempuan) adalah
teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran
yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami
oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan
bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar,
misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas,
basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga,
laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu
berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak
berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif
dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif
yang selalu dikaitkan dengan perempuan.[2]
Senada
dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan,
dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam
pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan
tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature
tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato
tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia
sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah.
Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam
negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika
Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya,
Aristoteles juga mengandaiakan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar
mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi
tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan
seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang
dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif
dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki
pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan
dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia
karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta
sejati.[3]
Menyimak
pemikiran dua filsuf besar di atas, terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan
terdistrorsi oleh ideologi yang dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau
melestarikan tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang
penting dalam suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai
bagian dari masyarakat yang beradab.
Dengan
demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno bahwa ada kecenderungan untuk
melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia yang berhubungan dengan
pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang berada di bawah kontrol
manusia.Dalam konteks
ini,
menimbulkan konsekuensi lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu perlawanan,
perempuan dipandang oleh laki-laki lebih dekat dengan alam dari pada dengan kebudayaan, perempuan berada pada posisi margin
dan periferi kebudayaan.
Memperkuat
teori Yunani kuno, filosuf Yahudi, Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh
pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide status kekrangan an kelemahan
perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi Yahudi mengganggap perempuan
sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan dikenal dengan tubuh yang
emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki adalah simbol pikiran dan
aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki adalah situs dan perempuan
adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, Philo
menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal
dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang
menghunjam pada tataran kos`mologis.
Dengan pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan
kekelannya, sebaliknya perempuan yang direpresentasikan dengan materi,
mengkategorikannya pada instabilitas dan mudah berubah. Philo secara lebih vulgar menyatakan ; dikhotomi
laki-laki dan perempuan berikut
peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam dan hukum
dunia mengikuti perintah alam. Di samping filsafat tentang definisi nature-nya,
Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada teks-teks keagamaan, yakni
naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan sebagai mitos atau sejarah,
namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan sesuatu yang mengacu pada realitas kosmik. Cerita Adam
dan Hawa misalnya, memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan dan perempuan.
Senada
dengan kontradiksi kosmik yang digagas Phytagoras, yakni siang-malam, Philo
yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras menempatkan laki-laki dan perempuan
dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini kemudian menimbulkan perbedaan yang
mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri laki-laki adalah akal, yang
menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil. Sementara perempuan
digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil. Berdasarlan pemikiran
itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa untuk menahan emosinya
ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan syetan. Menurut Philo, perempuan secara
alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan
berhasil menggodanya, bahkan
rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.[4]
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial),
Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesunguhnya
tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi
dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari
kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus memiliki identitas, memiliki
kategorisasi dan terumuskan secara
jelas.
Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu
tanpa identitas adalah mustahil.[5]
Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah
dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu.
Konsepsi
dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga
modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini
adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang
lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa
lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi
dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan
sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan
sebagai manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan
tidak dapat dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana
gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati,
terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh
karena itu, membicarakan peran gender tanpa mengikutkan teori yang
mengkonstruksinya, akan mengakibatkan wacana tersebut akan kehilangan elan
vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari kelahiran sejumlah ideologi, perlu
dirunut kontribusinya dalam melahirkan konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi
kedua jenis kelamin manusia ini.
Konsepsi
ideologi patriarkhi yang sessunguhya lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman
neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang
melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini
diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak
setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan”
ideologis antara kekuatan patriarkhi --yang diwariskan oleh peradaban kuno--
dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut: Patriarkhi mengurung
mahluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat
antara satu dengan yang lain. Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan identitas
perempuan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara
sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk
yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin
dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan
domestik. Konsepsi identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi,
konsepsi kedua dari metafiska Barat.
Persekongkolan
antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terlatak pada adanya dominasi satu
pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi
laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang
dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang
publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yan melekat pada
identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini
lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuenasi
dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah
kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati
posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan. Untuk melanggengkan
superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus
menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek
dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara
lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara
dan bertindak, dan seterusnya.
Berdasarkan
kolaborasi dan “perselingkuhan” kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan
barat yang melahirkan sejumlah keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding
perenpuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap
perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah
ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh
manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia
dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas,
dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan
absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia. Identitas,
dikhotomi dan kodrat, tidak lain adalah hasil dari proses hegemoni wacana
budaya patriarkhi, yang dilanggengkan melalui sejumlah piranti sosial dan
bahkan politik untuk mengokohkannya.
Dalam
konteks Indonesia misalnya bisa dilihat pendefinisian perempuan/isteri sebagai
pendamping laki-laki/suami, dikokohkan oleh instritusi sosial berupa Dharma
wanita, demikian
juga wacana mengenai posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang
kuat oleh institusi agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain
tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh
masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan
bertahan dan menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun
laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat
pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias,
kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan
perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus
menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang
bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan
dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan
perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.
Untuk
mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan
perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan
diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki,
berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa
berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti
perempuan. Pengondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan
manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.[6]
Berdasarkan
realitas pengkondisian sosial masyarakat,
baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa
semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme yang berimplikasi
sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan
untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang
menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti marjinalisasi,
subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah
satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat
ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual, seringkali dikonstruksi
berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan
menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau
feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan
perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah
peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin.
Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya perkayuan hanya dilakukan
oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung
menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air menjadi
tugas perempuan. Sementara
kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah
tanah, menanam, merawat dan memanen.
Dalam
masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak.
Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja
misalnya dalam suku Arapesh di Papua Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung
dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan
dari tugas-tugas klan lainnya. Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan
Tobriand di Papua Newgini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas
penting ibu maupun ayah.[7]
Mengacu
kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan
perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah
bergantung pada jenis kelamin
tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender
adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya
berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu
dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi
berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.
Dengan
berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perempuan dan
laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh
ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.
C. Dominasi
Laki-laki Terhadap Perempuan.
Kendati
patriarkhi memberikan kontribusi besar bagi pelanggengan dominasi laki-laki
atas perempuan, sebenarnya sistem ini juga membatasi ruang gerak laki-laki,
yang “dipaksa” selalu harus tampil rasional, maskulin dan petualang publik.
Namun demikian, dibanding “penderitaan” laki-laki yang diakibatkan oleh
ideologi ini, keuntungan yang dirasakan laki-laki lebih besar. Pada saat yang
sama, ideologi ini sama sekali tidak memberikan keuntungan bagi perempuan.
Sebaliknya, ia diciptakan untuk melakukan kontrol sosial terhadap perempuan,
baik kontrol terhadap tubuh maupun peran sosial perempuan. Warisan keagamaan
kuno hingga modern, tampaknya juga memberikan kotribusi besar bagi pengontrolan
tubuh dan sosial perempuan tersebut. Sistem teologi agama kuno yang menggambarkan sosok
tuhan-tuhan yang banyak, kemudian diseleksi pada gambaran-gambaran tuhan yang
berpengaruh, hingga kepercayaan monotheisme, memberikan gambaran Tuhan sebagai
sosok bapak yang perkasa, sebagaimana dalam sistem teologi Kristiani misalnya,
merupakan proses sekunderisasi perempuan. Secara historis, munculnya ideologi
patriarkhi berasal dari mesopotamia Kuno pada zaman neolitikum, seoring dengan
munculnya negara-negara kota. Bahkan menurut para femnis, munculnya hegemoni
laki-laki atas perempuan, sesunguhnya terjadi jauh sebelum era neolitikum yang
menandai lahirnya negara-negara kota tersebut.
Antara
tahun 3500-3000 SM, di Mesopatamia bermunculan negara-negara kota. Kondisi ini
mengakibatkan adanya peranan militer dan politik terhadap hegemoni. Hal ini
memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga menimbulkan adanya
stratifikasi sosial pada masyarakat. Sistem keluarga patriarkhi yang memastikan
penyampaian warisan dari ayah kepada anak laki-laki, dan pengontrolan
seksualitas perepmuan menjadi melembaga. Hal ini kemudian terekam ke dalam
hukum dan kemudian mendapat legitimasi dan dukungan dari institusi politik
maupun negara. Dalam konteks di atas, seksualitas perempuan menjadi aset dan
kekayaan laki-laki, pertama milik ayah dan kedua milik suami. Kesucian
seksualitas perempuan memperoleh nilai ekonomi, yang bisa dijadikan modal tawar
menawar. Uang jemputan dalam
kasus peminangan perempuan Makassar atau perempuan Aceh, merupakan contoh
konkritnya, di mana harga perawan ditentukan oleh status sosial ayah-nya.
Kemunculan negara-negara kota pada zaman Mesopotamia Kuno, menyebabkan
ditinggalkannya perempuan sebagai pekerja. Akibatnya kondisi ini semakin
menjauhkan perempuan dalam “petualangan” publik, yang bisa dihargai secara
ekonomis. Dengan demikian, pengisolasian perempuan dari bursa kerja
negara-negara kota, mengurangi kontribusi mereka dalam akses ekonomi. Kondisi
ini semakin memperkuat sekunderisasi perempuan, bahkan lebih jauh merendahkan
status perempuan.
Kondisi
pengotrolan dan pembatasan gerak perempuan dalam konteks masyarakat
Mesopotamian, semakin ditopang oleh aturam negara, berupa Undang-undang
Hamurabi (1750 SM), yang dibuat atas nama dewa Perang, Marduk[8].
Kendati
dalam banyak hal merugikan perempuan, kode Hammurabi masih memberikan sedikit
hak kepada perempuan. Misalnya dikatakan bahwa bagi laki-laki yang menceraikan
isteri-isterinya, diharuskan membayar ganti rugi. Aturan ini berbeda dengan
Undang-undang Assyiria (1200 SM), yang membatalkan hak-hak perempuan sebagai
ibu. Hak itu diberikan kepada suami, yang belum tentu ia berikan kepada
isterinya yag dicerai. Misalnya dinyatakan dalam ayat 183, bahwa bila laki-laki
menceraikan isterinya, ia bisa memberikan sesuatu kepada isterinya bila ia mau,
jika ia tidak mau memberikan sesuatu kepada isterinya, maka isterinya pergi
dengan tangan kosong. Dalam
konteks Mesopotamia kuno, sumber kekuatan dan kekuasaan berada di tangan ayah
dan suami. Perempuan dan anak-anak harus patuh kepada kekuasaan mutlak mereka.
Dalam Undang-undang Hamurabi dinyatakan bahwa kepala keluarga berhak mengatur
perkawinan ank-anaknya. Ia bisa mengirim anak-anak perempuannya ke candi untuk
menjadi biarawati. Ia bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar
hutang-hutangnya.
Penggunaan
cadar bagi perempuan terutama di kawasan jazirah Arab, terpengaruh oleh
Undang-undang Asyiria. Dalam undang-undang tersebut, dibedakan secara jelas
perempuan yang berhak dan tidak berhak menggunakan cadar. Cadar merupakan
simbol bagi kesucian dan keperawanan perempuan. Simbol ini juga menjadi
pertanda adanya perempuan yang berada di bawah perlindungan laki-laki, dan
perempuan “bebas” yang bisa menjadi “mangsa” seksual bagi siapapun. Dalam
konteks masyarakat arab, budaya ini digunakan untuk membedakan antara hurrah
dan ‘amat.
Hurrah
adalah
para perempuan terhormat yang hidupnya di bawah perlindungan laki-laki
terhormat. Sedangkan ‘amat merupakan perempuan-perempuan pekerja
seksual, yang tidak memiliki pelindung seorang laki-laki. Perintah berjilbab
bagi para perempuan, juga terkait dengan budaya masyarakat Arab yang sebelumnya
tidak ada perbedaan antara hurrah dan amat tersebut.
Tidak
berbeda dengan Hamurabi, Assyiria juga menyatakan bahwa bila seorang suami
memperkosa perempuan lain, maka perbuatan itu akan mengotori istrinya. Karena
itu ia harus mnceraikan istrinya.jika terjadi pemerkosaan atas gadis oleh
laki-laki lajang, maka laki-laki tersebut harus membayar harga gadis tersebut kepada ayahnya dan mengawininya.
Dengan demikian, perempuan sama sekali tidak memiliki otonomi dan independensi
atas dirinya. Menurut
Lerner, sebagaimana dikutip Fatmagul Bertaky, menyatakan bahwa dengan demikian,
cadar tidak saja merupakan simbol kelas atas, tetapi lebih penting lagi, ia
merupakan simbol yang membantu membedakan antara perempuan yang bisa dinikmati
oleh banyak laki-laki, dengan perempuan yang hanya bisa dinikmati oleh satu
laki-laki dan hidup berada di bawah perlindungannya.[9]
Dengan
demikian, pemakaian cadar dan kerudung atau penutup kepala, sesungguhnya tidak
saja merupakan tradisi Islam, tetapi telah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam
tardisi Kristen, pemakaian kerudung atau penuup kepala telah dlakukan oleh St.
Paul untuk membangun satu bagian pelembagaan Kristen. Dalam agama Yahudi,
Yunani dan Byzantium yang berada dalam peradaban Laut Tengah bagian Timur,
cadar melibatkan arti sosial yang semakin kompleks. Namun demikian, dalam
tardisi agama-agama dunia, tradisi cadar atau kerudung dan penutup kepala,
lebih terasa khas dalam trdisi Islam dibanding dalam tradisi agama-agama
selainnya.
Pada
abad pertama Masehi, satu-satunya wilayah efektif bagi perempuan Yahudi adalah
pada lingkungan keluarga. Pembatasan peran perempuan diasosiasikan dengan
tradisi perkawinan di era itu. Kekuasaan seorang ayah atas anak perempuan
mereka dan kekuasaan suami atas siterinya, demikian luar biasa. Semua hukum
tentang perkawinan, kewarisan dan perceraian, kemudian dikonstruksi dengan
berpihak kepada kaum laki-laki.
Sedikit sekali peraturan hukum yang menetralkan atau mengimbangi kontrol dan
kekuasaan ayah dan suami. Seseorang
bisa menyebutkan bahwa “uang cerai” yang harus dibayarkan oleh suami kepada
isterinya yang diceraikan. Namun di sisi lain anak perempuannya yang belum
dikawinkan, memiliki hak untuk mengikuti ayahnya. Dengan demikian, sekali lagi,
nilai ekonomis anak
D. Perempuan
Arab Pada Masa Jahiliyah.
Adapun
pandangan Bangsa Arab pada masa jahiliyah tentang perempuan mereka menganggap perempuan bagaikan barang atau
budak. Jika suaminya meninggal maka wali
suaminya akan datang dan mengenakan pakaiannya,dengan demikian si perempuan tidak dapat menikah kecuali dengan persetujuan oleh wali itu, terkecuali jika ia bisa menebus
dirinya dengan harta. Kekejaman orang jahiliyah terhadap
kaum perempuan ,juga
tdk membiarkan kaum perempuan
untuk
hidup. Jika
seorang istri melahirkan anak perempuam,
maka
sang suami akan langsung mengambilnya,
dibuat
lubang baginya lalu dikubur hidup-hidup, tanpa mempedulikan jerit tangis
sang anak.
itulah sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka :
itulah sebagaimana yang Allah kisahkan tentang mereka :
"Apabila
bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah ia dibunuh" (Q.S.At-Takwir : 8-9).
Karena
kebenciannya kepada bayi perempuan,
seorang
ayah akan marah besar bila mendengar yang lahir adalah anak perempuan, wajahnya akan merah padam, dunia menjadi sempit dan
pandangannya gelap, sehingga hampir-hampir ia tidak sadar dengan apa yang sedang dihadapannya. Allah menggambarkan :
"Dan
apabila salah seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia
sangat marah, ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yg di
sampaikan kepadanya. Apakah
dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup) ? Ketauhilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (QS.An-Nahl:58-59)
Perlakuan
buruk lainnya adalah mereka memerintahkan dan menjajakan budak-budak perempuan mereka untuk melacur agar mereka dapat memetik
keuntungan dari pelacuran itu. Di
depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah, supaya
orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan mendatanginya.
Dengan begitu, budak perempuan tersebut akan menerima upah berupa harta yang
sebanding dengan pelacuran yang telah dilakukannya. Allah menurunkan ayat yang melarang akan hal itu :
"Dan
janganlah kamu paksa budak-budak
perempuanmu
untk melakukan pelacuran sedang
mereka sendiri
menginginkan kesucian,
karena
kamu hendak mencari keuntungan duniawi
.Dan
barang siapa yg memaksa mereka,
maka
sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu" (QS.An-Nuur:33)
Lebih
dari itu Alquran juga mengisahkan tentang keburukan akhlak para
perempuan
dizaman
jahiliyah. Perempuan suka
berdandan
dengan pakaian laki-laki, sering
memamerkan auratnya, senang
untuk
melacurkan dirinya dan banyak memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk lainnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan
kepada perempuan mukminah agar mereka tidak mengikuti budaya dan tingkah laku
jahiliyah. Allah
berfirman:
"Dan
hendaklah kamu menetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang
jahiliyah yang terdahulu." (QS.Al-Ahzab:33)
Perlakuan buruk lainnya
bangsa Arab terhadap perempuan adalah melakukan ; ” Nikah istibdha’.
Jika istri dari salah seorang lelaki di antara mereka selesai haid kemudian
telah bersuci maka lelaki termulia serta paling bagus nasab dan tata kramanya
di antara mereka boleh meminta wanita tersebut. Tujuannya, agar sang wanita
bisa disetubuhi dalam kurun waktu yang memungkinkannya melahirkan anak yang
mewarisi sifat-sifat kesempurnaan si lelaki yang menyetubuhinya tadi.
Demikian
kondisi kaum perempuan
dimasa jahiliyah, keadaan
mereka tidak lebih dari makhluk tanpa harga
diri, yang
kehilangan hak dan kepemilikannya.
BAB III
KEDUDUKAN PEREMPUAN DAN KESETARAAN GENDER
DALAM PANDANGAN ISLAM
A.
Kedudukan
Perempuan Dalam Pandangan Islam
Sesungguhnya
Islam
telah memberikan penghargaan dan penghormatan kepada kaum wanita dengan setinggi2nya, ia memberikan kedudukan yg teramat
mulia dan luhur, mengangkat
mereka dari lembah kehinaan dan sumber keburukan, menyelamatkan
mereka dari kekejaman dan perlakuan keji manusia yg biadab. Islam datang dengan membawa rahmat bagi seluruh
makhluknya. ApalagƬ
kepada kaum wanita yang
merupakan makhluk Allah
yg mulia.
Sebagai
ibu, Allah mengkhabarkan bahwa syurga
itu terletak dibawah telapak kakinya.
Sebagai
seorang istri mereka harus diperlakukan dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang, Sebagai
seorang anak perempuan, mereka
harus dididik dengan pendidikan yg benar, diasuh hingga masa menikah, bahkan seorang ayah yang dapat mengasuh dan mendidik dua
orang atau tiga orang anak putrinya dengan
sebaik-baiknya
akan mendapatkan jaminan syurga,
karena
tingginya pahala yang
dimiliki oleh seseorang yang
dapat mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Rasulallah
saw.bersabda (HR.Muslim) :
"Barang siapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu ia memperlakukannya dengan baik, maka kelak mereka akan menjadi
dinding dari (sengatan) api neraka"
Allah
memberikan kedudukan yg sama antara laki2 dan perempuan dlm hal pahala dan
kedudukan mereka di sisi Allah.Allah berfirman :
"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan
kepadanya kehidupan yang
baik" (QS.An-Nahl:97)
"Sesungguhnya Aku tdk akan
menyia-nyiakan amalan orang2 yang
beramal diantara kamu, baik
laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah keturunan
sebagian yang
lain." (QS.Ali-Imran:195)
B.
Kesetaraan
Gender Dalam Pandangan Islam
Di antara 114 surat yang terkandung di dalam Al
Qur’an terdapat satu surat yang didedikasikan untuk perempuan
secara khusus memuat dengan lengkap
hak asasi perempuan dan
aturan-aturan yang mengatur bagaimana seharusnya perempuan berlaku di dalam lembaga pernikahan, keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini
dikenal dengansurat An-nisa’, dan tidak satupun surat secara khusus ditujukan
kepada kaum laki-laki. Lebih jauh lagi, Islam datang
sebagai revolusi yang mengeliminasi diskriminasi kaum Jahiliyah
atas perempuan dengan pemberian hak warisan, menegaskan persamaan status
dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum
bagi perempuan dan mengeluarkan aturan pernikahan
yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan perceraian
yang manusiawi.
Islam
adalah agama keTuhanan sekaligus agama kemanusiaan dan kemasyarakatan (Q.S.
al-imran: [3] 112). Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai dua kapasitas,
yaitu sebagai hamba (‘abid) dan sebagai representatif Tuhan (khalifah),tanpa
membedakan jenis kelamin, etnik, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13),
artinya :
“ Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supayakamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu ;
“
Sesungguhnya Allah
MahaMengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)
Rasulullah
saw bersabda yang artinya: ”hak dan
kewajiban Allah terhadap hamba-Nyadan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun.(
HR. Bukhari)
Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan
konsep keseimbangan,
keserasian, keselarasan, keutuhan, baik
sesama umat manusia maupun dengan lingkunganalamnya. Konsep relasi gender dalam
Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan gender dalam masyrakat, tetapi
secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi mikrokosmos(manusia),
makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapatmenjalankan
fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat
mencapaiderajat abid sesungguhnya.Islam memperkenalkan konsep relasi gender
yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an) substantif yang sekaligus menjadi
tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah),antara lain: mewujudkan keadilan dan
kebajikan (Q.S. an-Nahl [16]: 90), artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberikepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
Islam
mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian,
keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Konsep
relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur
pola relasi mikrokosmos
(manusia), makrosrosmos (alam), dan
Tuhan. Hanya dengan demikian manusia dapat menjalankan
fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abid
sesungguhnya.
Laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan
peran khalifah dan hamba. Soal peran sosial dalam masyarakat
tidak ditemukan ayat al-Qur’an atau hadits yang melarang kaum perempuan
aktif di dalamnya. Sebaliknya al-Alqur’an
dan hadits banyak mengisyaratkan kebolehan perempuan aktif menekuni
berbagai profesi. Dengan demikian,
keadilan gender adalah suatu kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki
untuk dapat mengaktualisasikan dan mendedikasikan diri bagi
pembangunan bangsa dan negara.
Keadilan dan
kesetaraan gender berlandaskan pada prinsip-prinsip yang
memposisikan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai :
-
hamba Tuhan (kapasitasnya
sebagai hamba,- laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan
penghargaan dari Tuhan sesuai dengan
pengabdiannya Q.S. an-Nahl;[16]: 97),-
-
khalifah di bumi
ditegaskan dalam surat al-A’raf [7]: 165,-
-
penerima
perjanjian primordial (perjanjian dengan Tuhannya) sebagaimana disebutkandalam surat al-A’raf [7]: 172,- dan Adam
dan Hawa dalam cerita terdahulunya yang telah disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 22.
Ayat ayat tersebut diatas mengisyaratkan konsep
kesetaraan dan keadilan gender serta memberikan ketegasan bahwa prestasi
individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan
karir profesiona, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki
dan perempuan memperoleh kesempatan yan sama meraih prestasi yang optimal. Namun
dalam realitas masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi,
karena msih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.
Tujuan al-Qur’an adalah terwujudnya keadilan bagi
masyarakat. Keadilan dalamal-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat
manusia, baik sebagai inividu maupun sebagai anggota masyarakat. Al-Qur’an
tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna
kulit, suku bangsa, kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Dengan
demikian, terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat
menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan
penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan (debatable), apakah sesuai
dengan ajaran Islam yang sebenarnya sebagai ”rahmatan lil’alamin” Dalam alquran surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi ; Bahwa
Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk
yang terbaik dengan kedudukanyang paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal,
perasaandan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal
pembedaan antaralelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan
perempuan mempunya derajat dan kedudukan yang sama, dan
yang membedakan antara lelaki dan perempuanhanyalah dari segi biologisnya.
Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan.
Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat
Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah menciptakan
manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang
dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar
lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling
mengenal. Ayat -ayat di atas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal
balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang
mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124,
surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab ayat 35.
Ayat-ayat tersebut memuat bahwaAllah SWT secara khusus menunjuk baik kepada
perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan beriman,
bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab
yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan
spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan
lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan
derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang
membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
Menurut
D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang
PemberdayaanPerempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa
prinsip-prinsipkesetaraan gender ada di dalam Qur’an, yakni:
a. Perempuan
dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba (Q.S. al-Zariyat (51:56). Dalam kapasitas sebagai hamba tidak
ada perbedaanantara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan
peluang yang sama
untuk menjadi hamba ideal. Hamba ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa
(mutaqqun), dan untuk mencapai derajat
mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan
jenis kelamin, suku bangsa ataukelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan
dalam Q.S. al-Hujurat (49:13)
b. Perempuan
dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi. Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi
(khalifah fi al’ard). dalam Q.S.
al-An’am(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua
ayat tersebut, kata ‘khalifah"
tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu,artinya, baik perempuan
maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas
kekhalifahannya di bumi.
c. Perempuan
dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan
dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal
dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al A’raf (7:172) yakni ikrar akan
keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal
adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-lakidan perempuan sama-sama menyatakan
ikrar ketuhanan yang sama. Qur’an jugamenegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh
anak cucu Adam tanpa pembedaan jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
d. Adam
dan Hawa Terlibat secara Aktif Dalam Drama Kosmis
Semua
ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan Hawa di surga
sampai keluar ke bumi, selalu menekankan
keterlibatan
keduanya secara aktif, dengan penggunaan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti
untuk Adam dan Hawa, yang terlihat dalam beberapa kasus berikut:
a. Keduanya
diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S.al-Baqarah/2:35)
b. Keduanya
mendapat kualitas godaan yang sama dari setan (Q.S.al-A’raf/7:20)
c. Sama-sama
memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S.alA’raf/7:23)
d. Setelah
di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan
(Q.S.al Baqarah/2:187)
e.
Perempuan dan Laki-laki Sama-sama
Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang
untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuandan
laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali
Imran/3:195; Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan
konsepkesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasiindividual,
baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mestididominasi
oleh satu jenis kelamin saja.
Mengapa
Muncul Ketidakadilan terhadap Perempuan dengan Dalih Agama?
Karena
adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut yang di sebabkanoleh
pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat di dalam masyarakat,
sehingga menimbulkam sikap dan prilaku individual yang secara turun-temurun
menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang
disebarkan melalui nilai-nilai dan
tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru
mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkankaum perempuan.
Adapun
pandangan dasar atau mitos-mitos yang menyebabkan munculnya ketidak adilan
terhadap perempuan adalah :
-
Keyakinan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dianggap sebagai mahluk
kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki-laki. karenanya
keberadaan perempuan hanya sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk
di bawah kekuasaan laki-laki.
-
Keyakinan bahwa perempuan sebagai sumber
dari terusirnya manusia (laki-laki) darisurga, sehingga perempuan dipandang
dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkanlebih jauh lagi perempuan dianggap
sebagai sumber malapetaka.
Bias gender yang mengakibatkan kesalah pahaman terhadap ajaran Islam terkait puladengan
hal-hal lain seperti: Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qira’ah,Pengertian
Kosa Kata (Mufradat), Penetapan Rujukan Kata Ganti (damir), Penetapan ArtiHuruf
‘Atf, Bias Dalam Struktur Bahasa Arab, Bias Dalam Terjemahan Qur’an, Bias Dalam Metode Tafsir, Pengaruh Riwayat Isra’iliyyat,
serta bias dalam Pembukuan maupun Pembakuan Kitab Fikih. (Nasaruddin Umar, 2002).
Al-quran tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai
manusia.Dihadapan Allah SWT lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan
kedudukan yangsama. Oleh karena itu pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi
perempuan sudahselayaknya diubah, karena Qur’an selalu menyerukan keadilan
(Q.S.al-Nahl/16:90);keamanan dan ketentraman (Q.S. an-Nisa/4:58); mengutamakan
kebaikan dan mencegahkejahatan (Q.S.Ali Imran/3:104) Ayat-ayat inilah yang
dijadikan sebagai maqasid al- syari’ah atau
tujuan-tujuan utama syariat. Jika ada penafsiran yang tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu
harus ditinjau kembali.
C.
Ibu Dalam
Pandangan Islam
Islam mengajarkan bahwa kaum
ibu merupakan fihak yang sangat istimewa dan tinggi derajatnya. Oleh karena itu
kita sangat akrab dengan hadits yang menjelaskan keharusan seorang sahabat agar
memprioritaskan berbuat baik kepada ibunya. Bahkan Nabi shollallahu ‘alaih wa
sallam menyebutkan keharusan tersebut sebanyak tiga kali sebelum beliau
akhirnya juga menganjurkan sahabat tadi agar berbuat baik kepada ayahnya. Jadi
ibaratnya keharusan menghormati dan berbuat baik seorang anak kepada ibunya
sepatutnya lebih banyak tiga kali lipat daripada penghormatan dan perilaku
baiknya terhadap sang ayah.
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari
kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada
siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi:
Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?.
Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda:
“Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Kita juga
sangat akrab dengan hadits yang menyebutkan beberapa dosa besar dimana salah
satunya ialah durhaka kepada kedua orangtua, yaitu ayah dan ibu. Di antaranya
disebutkan sebagai berikut: Dari Anas ia
berkata: Nabi shollallahu ‘alaih wa sallam ditanya mengenai dosa-dosa besar,
maka beliau bersabda: “Mempersekutukan Allah, durhaka pada kedua orang-tua,
membunuh jiwa dan kesaksian palsu.” (HR Bukhary)
Bahkan di dalam
hadits lainnya disebutkan bahwa kedua orang-tua merupakan faktor yang sangat
besar mempengaruhi apakah seseorang bakal menuju ke surga ataukah ke neraka.
Artinya, perilaku baik seseorang kepada kedua orang-tuanya bakal memperbesar
kemungkinannya berakhir di dalam rahmat Allah dan surga-Nya. Sedangkan
kedurhakaannya kepada kedua orang-tua bakal memperbesar kemungkinan hidupnya
berakhir di dalam murka Allah dan neraka-Nya. Dari Abi Umamah ia berkata: “Ada seorang lelaki berkata: “Ya
Rasulullah, apakah hak kedua orang-tua atas anak mereka?” Rasulullah
shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda: “Keduanya (merupakan) surgamu dan
nerakamu.” (HR Ibnu Majah)
Hal ini sejalan
dengan hadits berikut ini: Dari Abdullah
Ibnu Amar al-’Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan kemurkaan
Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Tirmidzi)
Namun yang
menarik ialah ditemukannya hadits yang secara khusus mengungkapkan haramnya
durhaka kepada sang ibu. Sedangkan hal ini tidak kita temukan dalam kaitan
dengan larangan berlaku durhaka kepada sang ayah. Sudah barang tentu ini tidak
berarti bahwa berlaku durhaka kepada fihak ayah dibenarkan. Yang jelas dengan
adanya larangan khusus berlaku durhaka kepada fihak ibu cuma menunjukkan betapa
ajaran Islam sangat menjunjung tinggi martabat ibu. Bersabda Nabi shollallahu
‘alaih wa sallam: “Allah melarang kalian
durhaka kepada ibu kalian.”(HR Bukhary)
Dalam hadits
lain kita juga dapati bagaimana Islam menyuruh menghormati ibu sekalipun ia
bukan orang beriman seperti hadits yang diriwayatkan oleh Asma puteri sahabat
Abu Bakar Ash-Shiddiq berikut ini: Asma
binti Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku ibuku dan dia seorang wanita
musyrik di zaman Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam. Maka aku datang
kepada Rasulullah shollallahu ‘alaih wa sallam meminta fatwa beliau. Aku
bertanya kepada beliau: “Telah datang kepadaku ibuku sedangkan ia punya suatu
keperluan. Apakah aku penuhi permintaan ibuku itu?” Maka Nabi shollallahu
‘alaih wa sallam bersabda: “Iya, penuhilah permintaan ibumu itu.” (HR Bukhary)
Mengapa kaum
ibu sedemikian diutamakan?
Karena mereka
adalah fihak yang sejak masih mengandung anak saja sudah merasakan beban
memikul tanggung-jawab membesarkan anak-anaknya. Mereka adalah pendamping,
penyayang, pengasuh dan pengajar pertama dan utama bagi seorang anak. Ibu
adalah fihak yang paling banyak direpotkan oleh anak semenjak mereka masih
kecil. Begitu lahir anak menuntut air susu ibunya. Keinginan minum ASI
seringkali tidak pandang waktu. Bisa jadi seorang ibu di tengah malam
“terpaksa” bangun mengorbankan waktu istirahatnya demi menyusui buah hatinya.
Seorang ibu
juga direpotkan ketika anaknya ngompol dan buang air besar. Ibulah yang
biasanya harus mencebok dan membersihkan anaknya. Semakin ikhlas seorang ibu
mengerjakan semua aktifitas tadi maka semakin melekatlah si anak kepada
dirinya. Di balik segala kerepotan tadi sesungguhnya terjalinlah ikatan hati
yang semakin kokoh antara ibu dan anak. Itulah sebabnya ketika seseorang sudah
dewasa sekalipun, tatkala dalam kesepian tidak jarang rasa rindu akan belaian
tangan ibunya yang penuh kasih sayang terkenang kembali.
Dalam pepatah
Arab ada ungkapan berbunyi Al-Ummu madrasah (ibu adalah sekolah). Benar,
saudaraku. Seorang ibu merupakan sekolah pertama bagi setiap anak. Ibulah yang
pertama kali mengajarkan banyak pelajaran awal tentang kehidupan kepada anak.
Apalagi di zaman penuh fitnah seperti sekarang dimana al-ghazwu al-fikri
(perang pemikiran/ perang budaya/ perang ideologi) datang menyerbu rumah-rumah
kaum muslimin. Serbuan itu datang dari berbagai penjuru. Bisa dari televisi,
internet, facebook, buku bacaan, komik, majalah, nyanyian, musik, pergaulan
bahkan dari sekolah formal…! Maka kehadiran seorang ibu yang memiliki wawasan
pengetahuan luas menjadi laksana penjaga benteng terakhir bagi anak-anaknya.
Ibulah yang bertugas membentengi, memfilter dan mengarahkan anak-anak
menghadapi berbagai serbuan perang budaya tadi.
Di masa kita
dewasa ini saat mana faham ateisme, materialisme, sekularisme, liberalisme dan
pluralisme begitu dominan mewarnai kehidupan masyarakat dunia, maka kehadiran
seorang ibu sendirian mendampingi anak-anaknya kadang dirasa kurang memadai.
Sehingga kerjasama antara ayah-mukmin dan ibu-mukminah sangat diperlukan. Dalam
dunia modern anak-anak kita sangat perlu pengarahan yang sangat kokoh dan
kompak dari kedua orang-tuanya sekaligus untuk meng-counter serangan
musuh-musuh Islam yang pengaruh buruknya semakin hari semakin hegemonik.
Betapapun,
seorang ayah tidak mungkin diharapkan untuk terus-menerus berada di rumah
karena tuntutan mencari ma’isyah (penghasilan) bagi anak-isterinya. Oleh
karenanya kehadiran dan keaktifan peran seorang ibu di rumah mendampingi
anak-anaknya menjadi sangat strategis. Oleh karenanya Nabi shollallahu ‘alaih
wa sallam menyetarakan hadir dan aktifnya seorang ibu mendampingi anak-anaknya
di rumah dengan aktifitas jihad fi sabilillah yang dilakukan oleh kaum pria di
medan perang menghadapi musuh-musuh Allah.
Dari Anas
Radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Kaum wanita datang menghadap Rasulullah
shollallahu ‘alaih wa sallam bertanya: “Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi
dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang
dapat menyamai ‘amal para mujahidin di jalan Allah?” Maka Rasulullah
shollallahu ‘alaih wa sallam bersabda :
“Barang siapa di antara kalian
berdiam diri di rumahnya maka sesungguhnya ia telah menyamai ‘amal para
mujahidin di jalan Allah” (HR
Al-Bazzar)
D.
Peranan
Perempuan Sebagai Istri Dalam Pandangan Islam
Rasulullah
saw. bersabda : ” Seluruh dunia ini adalah perhiasan dan
perhiasan terbaik di dunia ini adalah perempuan yang
sholehah”.
Di dalam
Islam, peranan seorang istri sangat
penting dalam kehidupan berumah tangga, yang mana seorang
istri membahagiakan suaminya untuk mendapatkan keridho’an dari Allah. Untuk itu kualitas seorang istri seharusnya memenuhi sebagaimana
yang disenangi oleh pencipta-Nya yang tersurat dalam surat Al-Ahzab, yakni, seorang perempuan muslimah yang benar
(dalam aqidah), sederhana, sabar, setia, menjaga kehormatannya tatkala suami
tidak ada di rumah, mempertahankan
keutuhan (rumah tangga) dalam waktu susah dan senang serta mengajak untuk senantiasa
ada dalam pujian Allah. Ketika seorang perempuan muslimah menikah (menjadi seorang istri) maka dia harus mengerti bahwa dia
memiliki peranan yang khusus dan pertanggung-jawaban
dalam Islam kepada pencipta-Nya. Karenanya,
seorang istri akan membantu suaminya untuk menyesuaikan dengan prinsip-prinsip
syari’ah (hukum Islam) dan memastikan suaminya untuk kembali melaksanakan
kewajiban-kewajibannya, sebagaimana suaminya memenuhi
kewajiban terhadapnya.
Seorang istri memiliki hak untuk
Nafaqah (diberi nafkah) yang berupa makanan, pakaian dan tempat untuk
berlindung yang didapatkan dari suaminya. Dia (suami) berkewajiban
membelanjakan hartanya untuk itu walaupun jika istri memiliki harta sendiri
untuk memenuhinya. RAsulullah
saw. Bersabda :
” Istrimu memiliki hak atas kamu
bahwa kamu mencukupi mereka dengan makanan, pakaian dan tempat berlindung
dengan cara yang baik.” (HR. Muslim)
Ini adalah
penting untuk dicatat bahwa ketika seorang istri menunaikan kewajiban terhadap
suaminya, dia (istri) talah melakukan kepatuhan terhadap pencipta-Nya,
karenanya dia mendapatkan pahala dari Allah. Aisyah r.a.
suatu kali meriwayatkan tentang kebaikan kualitas Zainab ra, istri ketujuh dari
Rasulullah saw. ;
”Zainab adalah seseorang yang
kedudukannya hampir sama kedudukannya denganku dalam pandangan Rasulullah dan aku belum pernah melihat seorang perempuan yang lebih
terdepan kesholehannya daripada Zainab r.a., lebih dalam kebaikannya, lebih
dalam kebenarannya, lebih dalam pertalian darahnya, lebih dalam kedermawanannya
dan pengorbanannya dalam hidup serta mempunyai hati yang lebih lembut, itulah
yang menyebabkan ia lebih dekat kepada Allah”.
Abu Nu’aim
meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw. Bersabda :
“ Ketika seorang wanita menunaikan
sholat 5 waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan
mematuhi suaminya, maka dia akan masuk surga dengan beberapa pintu yang dia
inginkan”. (Al Bukhori).
Dalam memilih isteri, Islam
mengajarkan kepada kaum lelaki muslim untuk memperhatikan dua hal esensial,
yaitu:
1)
silsilah keturunan calon isteri, dan
2)
lingkungan tempat perempuan
itu hidup, berikut
sejauh mana lingkungan tersebut berpengaruh pada kepribadiannya.
Rasulullah
menganjurkan untuk memilih isteri dari keluarga yang memiliki sifat-sifat
terpuji, karena keluarga yang baik akan membentuk karakter yang baik pula pada
diri perempuan
tersebut. Rasulullah bersabda:
"Pandai-pandailah
memilih calon isteri karena saudara isteri akan menurunkan sifat dan karakternya
pada anak kalian, dan
pilihlah
dengan benar perempuan
yang akan mengandung anakmu karena unsur keturunan sangat berpengaruh pada
anak.”
Islam
juga menekankan memilih
isteri dari lingkungan sosial yang bersih, karena lingkungan yang baik akan
memberikan pengaruh yang baik pula kepada perempuan tersebut, sebaliknya, Islam melarang kaum
lelaki memilih isteri dari lingkungan yang buruk. Dalam hadis disebutkan, Rasul melarang
untuk mempersunting perempuan
cantik yang hidup di lingkungan yang sesat. Beliau bersabda:
“Berhati-hatilah
terhadap wanita cantik yang hidup di lingkungan yang tidak baik.”
Islam
juga melarang laki-laki menikahi perempuan
pezina. Sabda Nabi :
“Jangan
sekalipun kalian menikahi perempuan
yang terang-terangan berzina, juga
perempuan yang
tidak sehat secara mental dan psikologis, sebab dikhawatirkan
anak yang akan dilahirkannya akan mewarisi kegilaan ibunya”.
Ketika
Rasul Saw ditanya, perihal menikahi perempuan yang cacat mental, beliau menjawab: Jangan!
Ali bin Abi Thalib mengingatkan kepada para pria
Muslim untuk tidak menikahi perempuan
dungu,
karena dikhawatirkan anak yang bakal dilahirkannya akan mewarisi kedunguannya, selain itu, perempuan dungu tidak akan mampu
mendidik anak dengan baik dan benar. Ali Ra berujar :
“Jangan sekalipun kalian mengawini
perempuan dungu
karena bergaul dengan perempuan seperti
itu merupakan petaka bagi seseorang dan anak yang dilahirkan bakal tidak
berguna.”
Tatkala
salah seorang sahabat berkonsultasi kepada Rasul Saw perihal kriteria dasar
calon istri, beliau menjawab tegas
:
“Nilai
keimanan dan loyalitas keagamaan harus dijadikan acuan utama memilih pendamping
hidup. “
Dalam
sebuah riwayat dituturkan, bahwa suatu hari, seseorang datang menemui Rasul dan
meminta nasehat darinya tentang perkawinan. Rasul saw bersabda:
“Pilihlah
perempuan yang
loyal kepada agamanya, niscaya engkau akan bahagia” (HR Muslim).
Memilih
pesangan hidup harus memprioritaskan masalah agama di atas harta dan kecantikannya, Rasul mengingatkan :
“Jika
lelaki mengawini seorang perempuan
karena kecantikan atau hartanya, ia tidak bakal mendapatkan apa yang ia cari
itu, tetapi
bila ia mengawininya karena agamanya, Allah pasti akan memberinya kecantikan
dan harta” (HR Turmudzi).
Seorang
pria harus memilih perempuan salehah
dan dari klan keluarga baik-baik untuk pendamping hidupnya, sebab perempuan yang
berasal dari keturunan yang baik dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang
beriman, akan menjadi
perempuan yang taat beragama. Perempuan seperti inilah yang
kelak jika bersuami dapat mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh Islam. Para
pria yang hendak menyunting perempuan
untuk
pendamping hidupnya, hendaknya menentukan pilihannya kepada perempuan yang bisa
mengantarkannya atau menjadi mitra hidupnya, untuk meraih kebahahiaan abadi di
negeri akhirat (surga Allah), sebagaimana pitutur Rasul Saw:
Jika perempuan
salat lima waktu,
berpuasa, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, maka kelak akan dikatakan
kepadanya:‘Masuklah ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang kamu sukai’
(HR Ibnu Hibban dan Thabrani).
Sebaliknya,
hendaknya para lelaki tidak menikahi wanita jahat. Dalam hadist ;
“Kejahatan
seorang perempuan jahat
adalah seperti jahatnya seribu orang jahat dari kaum lelaki. Kebaikan seorang
perempuan yang
salehah adalah sepadan dengan amal saleh tujuh puluh orang-orang shiddiqin.”
Dalam
sebuah riwayat ditandaskan, Rasul Saw bersabda tentang wanita yang digaransi
(dijamin) masuk surga, yaitu:
1)
Wanita yang memelihara dirinya, taat
kepada Allah dan suami, subur (bisa mempunyai anak) serta sabar;
2)
Menerima apa yang ada—pemberian
suami—walaupun sedikit, dan bersifat pemalu
;
3)
Jika suaminya pergi, ia menjaga dirinya
dan harta suaminya ;
4) Perempuan yang ditinggal mati
suaminya, sedangkan ia mempunyai anak yang masih kecil-kecil lalu ia menahan
dirinya, memelihara dan mendidik anak-anaknya, serta berbuat baik terhadap
mereka dan tidak mau nikah lagi karena takut menyia-siakan mereka.
Rasul
juga mewartakan tentang perempuan
yang
kelak menjadi penghuni neraka, yai
:
-
Perempuan
yang
jelek lisannya terhadap suami, jika suaminya pergi, ia tidak menjaga dirinya.
Jika suaminya di rumah, ia menyakiti suaminya dengan ucapannya ;
-
Perempuan
yang
membebani suami (dengan tuntutan) yang suami tidak mampu melakukannya ;
-
Perempuan
yang
tidak menutup dirinya dari lelaki lain dan ia keluar dari rumahnya dengan
berhias;
-
Perempuan
yang
sama sekali tidak memiliki keinginan kecuali makan, minum, dan tidur. Ia tidak
memiliki gairah untuk mengerjakan salat, untuk mentaati Allah Azza wa Jalla,
mentaati Rasul, serta tidak mentaati suaminya. Maka jika ada perempuan memiliki sifat-sifat
tersebut, ia adalah perempuan
terlaknat,
serta bakal menjadi penghuni neraka Allah, kecuali jika ia bertaubat.
E.
Muslimah
Bekerja Dalam Pandangan Islam
Dewasa ini tampak semakin banyak perempuan yang beraktivitas di luar rumah untuk bekerja. Ada
yang beralasan mencari nafkah, mengejar kesenangan, menjaga gengsi, mendapat
status sosial di masyarakat sampai alasan emansipasi. Anehnya banyak pula para perempuan yang mengeluh ketika harus menghadapi ketidak layakan perlakuan, seperti ; cuti hamil yang
terlalu singkat (hak reproduksi kurang layak), shift lembur siang-malam, sampai
pelecehan seksual.
Allah telah
menciptakan pria dan wanita sama, ditinjau dari sisi insaniahnya (kemanusiaannya).
Artinya keduanya diciptakan memiliki cirri khas
kemanusiaan yang tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Keduanya
dikaruniai potensi hidup yang sama berupa kebutuhan jasmani, naluri dan akal.
Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap pria dan wanita apabila
hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban
sholat, shoum, zakt, haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, amar ma’ruf nahi
munkar dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada pria dan wanita tanpa
ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia
seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pda keduanya, tanpa
melihat seseorang
itu pria maupun wanita.
Akan tetapi
bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (pria saja atau
wanita saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara pria dan
wanita. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada
pria, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga.
Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan
tanggung jawab pria. Dengan demikian perempuan tidak
terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya. bahkan
sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya,
Islam telah memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan
membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut
kepada Daulah (Baitul Maal), jadi bukan dengan
jalan mewajibkan perempuan bekerja. Sekalipun perempuan telah dijamin nafkahnya melalui pihak lain (suami atau wali), bukan berarti
Islam tidak membolehkannya bekerja
untuk mendapatkan harta/ uang sendiri, bahkan ia pun boleh
berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman :
“… Bagi laki-laki ada bagian dari
apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada
bagian dari apa yang mereka usahakan” (Qs An Nisa 32).
Hanya saja perempuan harus tetap terikat dengan ketentuan Allah (hukum syara’) yang lain ketika
ia bekerja. Artinya ia tidak boleh
menghalalkan segala cara dan segala kondisi dalam bekerja, juga tidak
boleh meninggalkan kewajiban apapun yang dibebankan kepadanya dengan alasan
waktunya sudah habis untuk bekerja atau dia sudah capek bekerja sehingga tidak
mampu lagi untuk mengerjakan yang lain. Justru ia harus lebih
memprioritaskan pelaksanaan seluruh kewajibannya daripada bekerja, karena hukum
bekerja bagi perempuan adalah mubah, karena apabila seorang mukmin/ muslimah mendahulukan perbuatan yang mubah dan
mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada
Allah. Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja
dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga
tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan
kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika kelaur rumah,
sholat lima waktu dan lain-lain.
Perlu
disadari bahwa ketika Allah Swt menjadikan tugas pokok sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga, Dia juga telah menetapkan seperangkat syariat agar tugas pokok
ini terlaksana dengan baik, sebab
terlaksananya tugas ini akan menjamin lestarinya generasi manusia serta
terwujudnya ketenangan hidup individu dalam keluarganya, sebaliknya bila
tugas pokok baginya tidak
terlaksana dengan baik, tentu akan mengakibatkan punahnya generasi manusia dan
kacaunya kehidupan keluarga.
Seperangkat
syariat yang menjamin terlaksanya tugas pokok perempuan ada yang berupa rincian hak dan kewajiban yang harus dijalankan wanita
(seperti wajib memelihara kehidupan janin yang dikandungnya, haram
menggugurkannya kecuali alasan syar’i, wajib mengasuh bayinya, menyusuinya
sampai mampu mandiri dan mengurus dirinya), ada pula yang
berupa keringanan bagi wanita untuk melaksanakan kewajiban lain (seperti tidak
wajib sholat selama waktu haid dan nifas), boleh berbuka puasa pada bulan
Ramadlan (ketika haid, hamil, nifas dan menyusui). Kemudian ada pula yang
berupa penerimaan hak dari pihak lain (seperti nafkah dari suami/ wali). Semua
ini bisa terlaksana apabila terjadi kerjasama antara pria dan perempuan dalam menjalani kehidupan ini, baik dalam
kehidupan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian tidak perlu
dipertentangkan antara fungsi reproduksi perempuan dengan produktivitasnya ketika ia bekerja. Karena semua ini tergantung pada
prioritas peran yang dijalaninya. Munculnya pertentangan ini disebabkan tidak
adanya penetapan prioritas tersebut.
Usaha
manusia untuk memperoleh kekayaan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah
suatu hal yang fitri, namun manusia
tidak boleh dibiarkan begitu saja menentukan sendiri bagaimana cara memperoleh
kekayaan tersebut, sebab bisa jadi manusia berbuat sekehendak hatinya tanpa
mempedulikan hak orang lain. Bila ini yang terjadi, bisa menyebabkan gejolak
dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat, bahkan bisa
mengakibatkan kerusakan dan nestapa. Padahal semua manusia memiliki hak untuk
menikmati seluruh kekayaan yang telah diciptakan Allah di bumi ini. Oleh karena
itu Allah telah menetapkan beberapa cara yang boleh bagi manusia untuk
memperoleh (memiliki) kekayaan/ harta. Antara lain dengan “bekerja”. Ini
berlaku bagi pria dan wanita, karena wanita tidak dilarang untuk memiliki
harta.
Tatkala
bekerja itu memiliki wujud yang luas, jenisnya bermacam-macam, bentuknya
beragam dan hasilnya berbeda-beda, maka Allah Swt pun telah menetapkan jenis-jenis
kerja yang layak untuk dijadikan sebab kepemilikan harta. Salah satu
diantaranya adalah ‘ijaroh’ (kontrak tenaga kerja).
Apabila kita
telaan secara mendalam, hukum-hukum yang berkaitan dengan ijaroh bersifat umum,
berlaku bagi pria maupun wanita.
Maksudnya wanita pun boleh melakukan ijaroh, baik ia sebagai ajir (orang yang
diupah atas jasa yang disumbangkannya) maupun sebagai musta’jir (orang yang
memberi upah kepada orang yang memberinya jasa).
Transaksi
ijaroh hanya boleh dilakukan terhadap pekerjaan yang halal bagi setiap muslim
dan tidak boleh bagi pekerjaan-pekerjaan yang haram. Oleh karena itu, transaksi
ijaroh boleh dilakukan dalam urusan perdagangan, pertanian, industri,
pelayanan, guru (pengajaran), perwakilan dan perantara bagi dua orang yang
bersengketa (peradilan). Demikian pula pekerjaan lain seperti menggali sumber
alam dan membuat pondasi bangunan ; mengemudikan mobil ; kereta, kapal, pesawat
; menvetak buku ; menerbitkan Koran dan majalah, menjahit baju, termasuk dalam
kategori ijaroh. Semua pekerjaan tersebut boleh dilakukan oleh wanita
sebagaimana pria, karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang halal
dilakukan oleh setiap muslim. Dengan demikian boleh pula bagi wanita bekerja
mengambil upah dari semua jenis pekerjaan di atas. Namun bagi wanita harus
tetap memperhatikan beberapa hukum lain yang harus diikutinya ketika ia
memutuskan untuk bekerja, sehingga ia bisa memastikan bahwa semua perbuatan
yang dilakukannya tidak ada yang melanggar ketentuan Allah (hukum syara’).
Apabila
setiap muslim yang bekerja (termasuk buruh wanita) untuk memperoleh upah/ gaji
sejak awal bersikap demikian, berarti ia telah menempatkan diri pada posisi
tawar yang tinggi, sehingga kelayakan kerja bisa dipastikan sejak awal (sebelum
melakukan aqad). Dengan demikian majikan tidak bisa berbuat seenaknya kepada
buruh, bahkan
majikan akan menyesuaikan dengan keinginan buruh, sebab tanpa jasa buruh,
usahanya tidak dapat berjalan. Dengan demikian para buruh wanita tidak akan
terjerumus pada polemik berkepanjangan dalam ketidak layakan kerja.
Tatkala
wanita bekerja, selain harus menentukan jenis pekerjaan yang akan dijalankannya
dihalalkan oleh syara’, ia pun harus memastikan bahwa situasi bekerjanya sesuai
dengan ketentuan syara’. Apabila dalam melakukan pekerjaan tersebut
mengharuskan wanita bertemu dengan pria, maka wanita pun harus terikat dengan
ketentuan syara’ yang berkaitan dengan interaksi antara pria dan wanita dalam
kehidupan umum (bermasyarakat). Artinya ia tidak boleh bercampur baur begitu
saja dengan lawan jenisnya tanpa aturan. Oleh karena itu harus difahami bahwa
interaksi dalam kehidupan masyarakat antara pria dan wanita (termasuk dalam
system kerja) tidak lain adalah hanya untuk saling ta’awwun (tolong menolong).
Interaksi kerja ini harus dijauhkan dari pemikiran tentang hubungan jinsiyah
(seksual). Sehingga ketika bekerja pun bukan dalam rangka memanfaatkan potensi
kewanitaan (kecantikan, bentuk tubuh, kelemahlembutan dan lain-lain) untuk
menarik perhatian lawan jenis. Bekerjanya wanita haruslah karena skill/
kemampuannya yang dimiliki oleh wanita sesuai dengan bidangnya.
Pengaturan
sistem interaksi ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi tindak
pelecehan seksual pada wanita saat ia bekerja. Islam sejak awal telah menjaga
agar kehormatan wanita senantiasa terjaga ketika ia menjalankan tugas-tugasnya
dalam kehidupan bemasyarakat. Adapun tentang pengaturan system interaksi pria
dan wanita, Islam telah menetapkannya dalam sekumpulan hukum, diantaranya :
1.
Diperintahkan kepada pria maupun wanita untuk menjaga/
menundukkan pandangannya, yaitu : Menahan diri
dari melihat lawan jenis disertai dengan syahwat sekalipun yang dilihat itu
bukan aurat dan dari melihat
aurat lawan jenis sekalipun tidak disertai syahwat misalnya melihat rambut wanita. Firman Allah dalam
QS An Nur 31 ; “Katakanlah
kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak darinya”.
2.
Diperintahkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian
sempurna ketika keluar rumah (termasuk ketika bekerja di luar rumahnya) yaitu
dengan jilbab dan kerudung (QS 24 : 31 dan QS 33 : 59) ;
“… dan hendaklah mereka menutupkan
khimar (kain kerudung) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya…” (QS
24 : 31).
“Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin : ‘hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS 33 : 59).
Yang
dimaksud dengan khimar adalah kain yang menutup rambut kepala hingga menutup
bukaan baju (dada). Sedangkan jilbab adalah pakaian yang dipakai di atas
pakaian dalam rumah yang menjulur dari atas hingga ke bawah, menutupi kedua
kaki.
3.
Dilarang berkhalwat pria dan wanita. Sabda
Rasulullah ; “tidak boleh
berkhalwat laki-laki dan perempuan kecuali
bersama perempuan itu ada mahram”
4.
Dilarang perempuan bertabarruj (menonjolkan
kecantikan dan perhiasan untuk menarik perhatian pria yang bukan mahromnya). Sabda
Rasulullah ; “barang siapa perempuan yang
memakai wangi-wangian, kemudian lewat di depan laki-laki, hingga tercium wanginya,maka dia seperti pezina
(dosanya seperti pezina)”.
5.
Dilarang perempuan melibatkan
diri dalam aktivitas yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi kewanitaannya, misalkan ; pramugari, foto model, artis, dsb.
6.
Dilarang perempuan untuk melakukan perjalanan sehari
semalam tanpa mahram.
Sabda Rasulullah ; “Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
Sabda Rasulullah ; “Tidak halal perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali bersamanya ada mahram”.
7.
Dilarang perempuan bekerja di
tempat yang terjadi ikhtilath (campur baur) antara pria dengan wanita.
Demikianlah
Islam mengatur sistem interaksi pria dan wanita. Semua tidak lain untuk
menjaga izzah (kehormatan) wanita dan menjaga ketinggian iffah kaum muslimin.
Dewasa ini
banyak perempuan (termasuk
para muslimah yang terjun ke dunia kerja), walaupun upah yang mereka terima lebih rendah dan perlakuan
yang mereka terima juga tidak layak, namun dari hari ke hari jumlah tenaga
kerja wanita (buruh) ini semakin meningkat. Keadaan ini memang tidak terlepas
dari kondisi sistem yang mereka hadapi. Dominasi alam Kapitalis ataupun
sosialis menciptakan situasi sulit bagi para buruh wanita (masyarakat secara
umum).
Kalau
kita kembali menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa awal
Islam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membenarkan mereka
aktif dalam berbagai aktivitas. Para wanita boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam ataupun di luar rumahnya, baik secara mandiri atau bersama
orang lain, dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut
dilakukannya dalam suasana terhormat, sopan, serta selama mereka dapat
memelihara agamanya, serta dapat pula menghindari dampak-dampak negatif dari
pekerjaan tersebut terhadap diri dan lingkungannya.
Secara
singkat, dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan yaitu bahwa
“perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama pekerjaan tersebut
membutuhkannya dan atau selama mereka membutuhkan pekerjaan tersebut”.
Pekerjaan dan aktivitas
yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam,
sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan-peperangan,
bahu-membahu dengan kaum lelaki. Di samping itu, para perempuan pada masa Nabi
saw. aktif pula dalam berbagai bidang pekerjaan, antara lain :[10]
1. Ada
yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang
merias, antara lain, Shafiyah bin Huyay –istri Nabi Muhammad saw. Ada juga yang
menjadi perawat atau bidan, dan sebagainya.
2. Dalam
bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama, Khadijah binti Khuwailid,
tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani
Anmar yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi
untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual-beli. Dalam kitab Thabaqat
Ibnu Sa’ad, kisah perempuan tersebut diuraikan, di mana ditemukan antara lain
pesan Nabi kepadanya menyangkut penetapan harga jual-beli. Nabi memberi
petunjuk kepada perempuan ini dengan sabdanya: “Apabila Anda akan membeli atau
menjual sesuatu, maka tetapkanlah harga yang Anda inginkan untuk membeli atau
menjualnya, baik kemudian Anda diberi atau tidak. (Maksud beliau jangan
bertele-tele dalam menawar atau menawarkan sesuatu).”
3. Istri
Nabi saw., Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja sampai pada menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi
Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu
tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga ini. Al-Syifa’, seorang
perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai
petugas yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian
sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasul saw. dan sahabat beliau
menyangkut keikut sertaan
perempuan dalam berbagai bidang usaha dan pekerjaan. Di samping yang disebutkan
di atas, perlu juga digaris bawahi
bahwa Rasul saw. banyak memberi perhatian serta pengarahan kepada perempuan
agar menggunakan waktu sebaik-baiknya dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan
yang bermanfaat. Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi saw. Namun, sebagaimana telah
diuraikan di atas, ulama pada akhirnya menyimpulkan bahwa perempuan dapat melakukan
pekerjaan apa pun selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya
dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara.
Dengan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk
kaum perempuan,
mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan jabatan tertinggi.
Hanya ada jabatan yang oleh sementara ulama dianggap tidak dapat diduduki oleh
kaum wanita, yaitu jabatan Kepala Negara (Al-Imamah Al-’Uzhma) dan Hakim.
Namun, perkembangan masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukung larangan
tersebut, khususnya menyangkut persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim.
F.
Peranan
Perempuan Muslimah Dalam Kehidupan Sosial
Interaksi
antara pria dan wanita ternyata dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilarang, karena
interaksi tersebut sudah terjadi sebelum masa Nabi SAW. Rasulullah bersabda, “Kaum
wanita adalah saudara kandung kaum pria”. Hal ini mengandung arti
bahwa kaum perempuan haruslah
ikut serta dalam berbagai lapangan kehidupan.
Sebagaimana
diketahui, lapangan kehidupan tidak terlepas dari keberadaan kaum laki-laki,
bahkan peranan penting dalam masyarakat didominasi oleh kaum pria, namun Allah tidak menghalangi perempuan bertemu dan
berinteraksi dengan kaum pria dan sebaliknya, berbicara,
bertukar pikiran, atau bekerjasama untuk suatu pekerjaan tidak dihalangi
sepanjang tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan agama.
Kebebasan perempuan dengan segala konsekwensinya, seperti harus bertemu
dengan pria merupakan pola yang sudah ditetapkan oleh syariat dan sunnah
Rasulullah SAW. Beliau sangat memahami peran perempuan dalam mempermudah dan membantu berbagai usaha
kebaikan. Penyalah gunaan kondisi
tersebut sama artinya dengan mempersulit dan mempersempit ruang gerak perempuan sekaligus menghalanginya dari
melakukan kebaikan serta memposisikan perempuan dalam
bidang-bidang yang lemah. Namun
kebebasan tersebut tidak lantas melalaikan mereka dari pelaksanaan tugas dan
tanggung-jawab
terhadap rumah tangga dan anak-anaknya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN – SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Perempuan selama berabat-abat mengalami penindasan oleh
dominasi kaum laki-laki yang mengatas namakan peradaban dan kebdayaan dan juga
karena penafsiran yang keliru tentang asal kejadian perempun dan kodratnya yang
lemah lembut, namun dewasa ini pemikiran seperti itu mulai sirna , baik karena
perjuangan kesetaraan gender maupun karena prestasi perempuan itu sendiri dalam
kehidupan social-masyarakat.
2.
Dalam pandangan Islam perempuan
memiliki kedudukan yang sama dengan
laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapatkan balasan atas
amal usahanya perempuan memiliki
kesetaraan dengan laki-laki,
Islam sangat menjunjung keadilan dalam kesetaraan gender. Sedangkan
dalam hal peran perempuan memiliki perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan
yang wajib adalah sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Peranan perempuan sebagai
anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapatkan profesi (pekerjaan) hukumnya boleh. Meskipun
diperbolehkan namun harus selalu
mementingkan
segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi
keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang mubah tidak boleh meninggalkan hal yang
wajib.
3.
Meskipun
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan social dan masyaakat
sudah mulai membaik, namun dewasa ini terkadang pelecehan terhadap perempuan
masih saja terjadi, baik karena sifat kebiadaban laki-laki maupun karena
kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender yang diajarkan agama, khususnya
Islam, dan bahkanpara ulamapun sebagian ada yang tidak terbuk, tidak welcome
akan kesetaraan gender.
B.
Saran – Saran
Makalah ini disusun dengan
segala keterbatasan penulis,baik mengenai disiplin ilmu maupun pengalaman
keagamaan yang sangat minim, berharap kekeliruan penulisan ini ditanggapi
dengan penyempurnaan, sehingga pada akhirnya bermanfaat bagi masyarakat banyak,
khususnya sekali umat Islam.
4.
Amin
Al-Khuli, Prof. Dr., Al-Mar'at baina Al-Bayt wa Al-Muitama', dalam Al-Mar'at
Al-Muslimah fi Al-'Ashr Al-Mu'ashir, Baqhdad, t.t.
5.
Jamaluddin Muhammad Mahmud, Prof. Dr., Huquq Al-Mar'at
fi Al-Mujtama' Al-Islamiy, Kairo, Al-Haiat Al-Mishriyat Al-Amat, 1986.
6.
Ibrahim
bin Ali Al-wazir, Dr., 'Ala Masyarif Al-Qarn. Al-Khamis 'Asyar, Kairo, Dar Al-Syuruq
1979.
7.
Lihat
biografi para sahabat tersebut dalam Al-Ishabat fi Asma' Al-Shahabat, karya Ibnu Hajar, jilid IV.
[1] Haniva Az Zahra, Peserta Program
Pembinaan SDM Strategis Nurul Fikri, http://kampus.okezone.com/read/2011/03/09/95/432903/95/perempuan-dan-kesetaraan-gender
[2]
Hidle Hein, “Liberating Philisophy: An End to the Dichotomy of Spirit
and Matter,” eds. dalam Ann Gary dan Marlyn Persall, Women, Knowledge and
Reality (London: Unwin Hyman, 1989), 294. 3
[4]
Fadhilah Suralaga&Eri
Rosatria (ed.), Perempuan : Dari Mitos ke Realitas (Jakarta: PSW UIN
Jakarta - McGill-ICIHEP, 2002), 49-50.
[5] Donny Gahral Adian,” Feminis Laki-laki
Sebagai Seni Pengambilan Jarak”, dalam Nur Iman Subono (ed.) Feminis
Laki-laki: Solusi Atau Persoalan (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan- The
Japan Foundation, 2001), 23-34.
[6] Veven Sp. Wardhana, “ Puanografi
dan Media: Yang Bukan perempuan (Tak) Ambil Bagian”, dalam Nur Iman Subono,
Feminis Laki-laki, 90.
[7] Ivan A. Hadar, “Feminisme,
Feminis Laki-laki dan Wacana Gender Dalam Upaya Pengembangan Masyarakat”,dalam
Nur Iman Subono,Feminis Laki-laki, 93-111. 7 Ibid.
[8]
Fatmagul Berktay,” Ciri
Khusus Patrarkhi: Kontrol Sosial terhadap Tubuh Perempuan”, dalam Suralaga&Rosatria
(ed.), Perempuan: dari Mitos, 1-39.
[9] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
KOMENTAR ANDA, KRITIK DAN SARAN DARI ANDA AKAN MEMBUAT BLOG INI BERMANFAAT !